Meskipun dianggap terlambat mengambil sikap, tetapi diduga kuat Partai Golkar akan segera mengadakan musyawarah luar biasa (Munaslub) untuk menentukan pengganti Setya Novanto, sebagai nakhoda baru partai yang terlanjur kental dengan sebutan warisan orde baru itu.
Beberapa nama kader partai politik berlambang pohon beringin itu, pun belakangan ini sudah  muncul ke permukaan dalam meramaikan bursa pemilihan ketua umum. Sebut saja nama Airlangga Hartarto, Bambang Soesatyo, sampai nama Titiek Soeharto yang, tentu saja, akan kembali mengingatkan kita pada penguasa orde baru, Presiden RI kedua, almarhum Jendral Soeharto.
Menarik memang membicarakan trah Cendana ini. Selain sosok perempuan, juga apabila dalam munaslub nanti Titiek terpilih sebagai pimpinan partai politik sekelas partai Golkar, bisa jadi  akan menambah keterwakilan jender di kancah tertinggi percaturan politik di negeri ini, setelah sebelumnya ada seorang Megawati Soekarno Putri yang hingga sekarang masih tetap bertahan sebagai nakhoda PDIP. Dan lebih menarik lagi, karena dua sosok itu pun masing-masing merupakan putri Presiden RI. Sehingga peribahasa Buah tidak akan jatuh jauh dari pohonnya pun akan semakin ramai didengungkan.
Hanya saja, apakah selama berkiprah di dalam gerbong partai Golkar, Siti Hediati Haryadi Soeharto sudah memiliki catatan prestasi yang mumpuni, juga sejauh mana kapasitas dan kapabilitas dalam dunia perpolitikan yang telah dikuasainya?
Inilah masalahnya.
Janganlah dibandingkan dengan Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Megawati Soekarnoputri, yang selama ini dianggap memiliki kekuatan sebagai pemersatu partai. Sehingga hingga sekarang ini terbukti, Megawati masih memiliki kemampuan merawat stabilitas, kohesivitas, dan soliditas partai. Sepertinya Titiek Soeharto diprediksi justru malah akan membuat perahu partai Golkar menabrak karang. Pertentangan antara kekuatan faksi yang masih dianggap idealis dan bersih, dan mendapat amunisi dari rakyat yang merindukan negeri ini benar-benar terlebas dari segala praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), dengan faksi yang masih tetap berkutat dalam pragmatisme pun akan semakin tajam.
Sehingga apabila memang seluruh kader partai Golkar memiliki niat tulus dan mulia, antara lain ingin membersihkan stigma buruk sebagai partai korup, dan hendak menghilangkan sebutan sebagai partai peninggalan orde baru yang dianggap telah merusak tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara Republik Indonesia ini, serta berkeinginan memiliki seorang nakhoda yang mampu mempersatukan faksi-faksi yang selama ini seringkali membuat perahu partai oleng tanpa jelas arahnya, sepertinya peluang Titiek Soeharto untuk memimpin partai yang pernah berjaya selama 32 tahun itu tidak akan sampai menjadi kenyataan.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H