Berita sepasang kekasih yang dituding berbuat tak senonoh, kemudian diarak, dan dihakimi massa di daerah Cikupa, Kabupaten Tanggerang, Banten membangkitkan kembali ingatan pada peristiwa yang terjadi di sebuah kampung tetangga pada tahun 1970-an lalu.
Penulis saat itu masih duduk di bangku kelas empat sekolah dasar. Sebagaimana biasanya di kampung kami, anak-anak usia sekolah setiap waktu Subuh tiba, pergi belajar mengaji di sebuah tajug (Sebutan di kampung kami untuk surau) Aki Haji Halim yang terletak di kampung sebelah.
Memang di kampung kami sendiri ada orang tua yang memberi pengajaran untuk belajar ngaji. Akan tetapi entah mengapa banyak anak-anak, termasuk penulis sendiri, lebih memilih untuk belajar mengaji kepada Aki Haji Halim. Padahal jarak tempuh dari kampung kami ke tajug Aki Haji Halim cukup jauh juga bagi anak-anak seusia kami ketika itu. Sekitar satu kilometer. Dengan berbekal obor, yaitu api sebagai alat penerangan yang terbuat dari satu ruas bambu kecil, yang diisi minyak tanah, dan di ujungnya diberi sumbu, kami dengan berombongan anak perempuan dan laki-laki, seperti sedang pawai saja laiknya, setiap menjelang subuh menuju ke kampung sebelah.
Suatu ketika, saat kami sedang berjalan beriringan untuk pergi mengaji seperti biasanya, saat memasuki belokan jalan di perbatasan antara kampung kami dengan kampung yang menjadi tujuan kami, tiba-tiba dikejutkan oleh suara teriakan orang-orang di depan kami. Langkah kaki kami pun sesaat jadi terhenti. Karena dengan mendengar riuh-rendahnya suara teriakan yang dibarengi dengan bentakan bernada amarah, kami semua mengira sedang terjadi kerusuhan di depan sana. Malahan tak ayal lagi, anak-anak perempuan yang biasanya berada di barisan depan, mereka seketika berlarian ke belakang anak laki-laki. Bahkan ada di antaranya yang terus berlari untuk kembali ke kampung kami.
Sementara sebagian lagi dari kami, terutama anak-anak yang sudah agak besar, Â meskipun dengan dipenuhi rasa was-was dan cemas, tapi rasa penasaran ingin mengetahui apa yang terjadi, Â membuat kami menunggu munculnya suara-suara itu yang kian lama semakin mendekat ke arah kami berada.
Tak lama kemudian mata kami melihat sebuah pawai obor orang-orang dari kampung itu. Di saat menjelang Subuh itu. Sementara di barisan paling depan, kami melihat seorang perempuan dan seorang pria yang digandeng di kiri-kanannya oleh dua orang Hansip. Sementara di belakangnya beriringan laki-perempuan, tua-muda, dan dewasa maupun anak-anak sepertinya tumpah ruah berpawai sambil berteriak-teriak penuh kemarahan.
Adapun yang menarik perhatian kami saat itu, adalah sepasang lelaki dan perempuan yang berada di barisan depan, dan digandeng dua orang Hansip itu. Betapa tidak, baik perempuan itu yang usianya sekitar 30 tahunan, maupun laki-lakinya belum genap 20 tahun, yang tampak  sama sekali dalam keadaan tanpa pakaian yang melekat di tubuhnya. Alias telanjang bulat!!! Padahal kedua orang itu bukan anak kecil lagi seperti kami. Aneh.
Hanya saja keheranan saya itu langsung terjawab. Seorang anak sebaya warga kampung sebelah yang ikut dalam rombongan arak-arakan, atau pawai itu, dan kebetulan menjadi teman satu pengajian, memberi penjelasan saat saya bertanya tentang kejadian tersebut.
Tengah malam tadi, katanya, ronda malam dan Hansip sudah menangkap basah dua orang yang sekarang diarak di depan itu sedang berselingkuh. Adapun perempuan itu merupakan warga kampung sebelah, dan sudah bersuami. Sedangkan yang laki-lakinya adalah warga kampung lain. Karena suami perempuan itu sering lama berada di kota, untuk mencari nafkah keluarga tentunya, maka lelaki itu sering bertandang ke rumah perempuan itu. Pada awalnya tetangga dan warga sekitar tidak menaruh curiga. Tapi karena terlihat begitu seringnya datang bertamu, dan bukan pada waktunya, ditambah lagi sering terlihat sampai menginap, maka lama-lama warga pun merasa curiga juga.
Benar juga. Ronda malam dan Hansip menangkap basah kedua pasangan bukan suami-isteri itu sedang melakukan hubungan sebagaimana layaknya suami-isteri. Kemudian pasangan selingkuh itupun dibawa keluar tanpa sempat berpakaian terlebih dahulu. Semua tetangga sekitar pun jadi gaduh dibuatnya. Maka tak ayal lagi hampir seluruh warga kampung pun jadi mengetahuinya. Lalu di Subuh itu juga pasangan mesum itu dibawa ke kantor desa.
Memang kedua pasangan selingkuh itu diarak warga untuk di bawa ke 1kantor desa. Tetapi saat itu kami tidak melihat keduanya dipukuli sebagaimana yang terjadi di Tanggerang sekarang ini. Hanya saja dengan cara diarak beramai-ramai, dan dalam keadaan telanjang bulat, apakah warga kampung itu itu pun sudah termasuk melanggar hukum? ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H