Mohon tunggu...
Adjat R. Sudradjat
Adjat R. Sudradjat Mohon Tunggu... Penulis - Panggil saya Kang Adjat saja

Meskipun sudah tidak muda, tapi semangat untuk terus berkarya dan memberi manfaat masih menyala dalam diri seorang tua

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Untung Ada Gus Dur

27 Januari 2022   18:04 Diperbarui: 27 Januari 2022   18:07 365
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bunyi tetabuhan yang terdengar di telinga: Dug-dug-dug jreng... Dug-dug-dug jreng...  Menggema di jalan dibarengi riuh-rendah sorak-sorai orang-orang yang mengundang untuk segera ingin segera ikut menyaksikan.

Setiap peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia, atau kami menyebutnya 17 Agustus-an, adalah kemeriahan pesta rakyat yang tidak boleh dilewatkan. 

Apa lagi bagi bocah kampung seusia lima tahunan, seperti saya ini ketika itu. Di tahun-tahun 1964-1965 yang lalu. Pesta memeriahkan peringatan HUT Kemerdekaan adalah suatu hal yang selalu dinanti-nantikan.

Hiburan yang disuguhkan oleh warga kampung setempat, ditampilkan beranekaragam. Tepat di pagi hari tanggal 17 Agustus, mulai dari seni pencak silat, reog, kasidahan, kuda lumping, topeng monyet... dan pertunjukan barongsai!

Pokoknya tumplek, plek! Seluruh warga kampung turun ke jalan membentuk barisan panjang, untuk mengikuti upacara bendera di lapangan sepak bola, di kota kecamatan yang jaraknya sekitar tiga kilometeran.

Kemudian setelah selesai upacara bendera, dilanjutkan dengan hiburan rakyat yang sangat meriah, yang dipertunjukkan oleh warga dari setiap kampung di wilayah kecamatan kami tersebut.

 Pertunjukan seni tradisional Sunda, seperti yang disebutkan tadi, dari mulai kasidahan, reog yang dimainkan oleh empat orang, dengan diiringi juga oleh gong dan gendang sebagaimana dalam pertunjukan seni pencak silat, hampir dapat ditemui dari setiap kampung.

Akan tetapi lain halnya dengan seni pertunjukan barongsai, dan ular liong yang dipadukan dengan seni debus, hanya dipertunjukkan oleh warga dari kampung kami saja.

Bagaimanapun orang yang membawa seni barongsai ke kampung kami bukanlah etnis Tionghoa, tapi warga dari Soreang, Bandung yang mendapat jodoh seorang wanita dari kampung kami. Sama-sama orang Sunda.

Ya, seni barongsai kemudian saya ketahui  merupakan seni pertunjukan yang berasal dari Cina. Dan biasanya juga banyak ditemukan pada kegiatan hari raya Imlek. Tapi itulah pertama kali saya mengenalnya. Dari penjelasan warga yang memperkenalkan seni tersebut di kampung kami.

Hanya saja setelah pemerintahan Soekarno diganti oleh Soeharto, seni barongsai pun sudah tidak bisa disaksikan lagi pada setiap perayaan 17 Agustus-an. Konon karena dilarang oleh rezim pemerintahan orde baru.

Selama hampir 32 tahun, kami tidak pernah lagi dapat menyaksikan seni pertunjukan barongsai dan liong itu.

Sehingga ketika rezim orde baru jatuh dan zaman pun berganti dengan era reformasi, tepatnya saat pemerintahan dipimpin oleh KH Abdurrahman Wahid, alias Gus Dur, pertunjukan seni barongsai, termasuk perayaan hari raya Imlek, dapat kami saksikan kembali.

Berkat kebijakan Gus Dur, kami yang berbeda ras dan agama, tetapi terikat dengan persamaan hak sebagai sesama manusia, serta satu bangsa dan negara Indonesia, saya pun ikut bergembira atas kebijakan Gus Dur tersebut.

Hanya saja entah kenapa, entah lantaran perbedaan ras dan agama juga, sampai saat ini masih saja ditemukan etnis Tionghoa yang mengambil jarak dengan yang bukan etnis mereka.

Sebagaimana yang pernah saya alami sendiri saat tinggal di Jakarta. Tetangga di seberang jalan, kebetulan keluarga dari etnis Tionghoa. Tapi jangankan dengan warga satu komplek, dengan keluarga kami yang rumahnya berhadapan, dan hanya dipisahkan oleh jalan selebar lima meter saja, terkesan enggan untuk saling kenal.

Inilah masalah yang sebenarnya harus didobrak, agar tidak terjadi hal yang tidak diharapkan, sebagaimana yang pernah terjadi beberapa waktu lewat.

Padahal bermula dari hal yang tidak jelas, lantaran adanya jarak, timbul kecurigaan misalnya, kemudian dimanfaatkan pihak ketiga, sebagaimana yang terjadi di tahun 1998 lalu.

Oleh karena itu, pada perayaan Imlek tahun ini, semoga warga Tionghoa dapat mengambil hikmahnya. Di dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, jangan ada lagi jurang pemisah dengan warga yang lainnya.

Gong Xi Fa Cai... Semoga kita semua mendapatkan berkah kesehatan dan keselamatan, juga rezeki yang berlimpah di tahun ini, juga tahun-tahun berikutnya. ***

, 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun