Hanya saja setelah pemerintahan Soekarno diganti oleh Soeharto, seni barongsai pun sudah tidak bisa disaksikan lagi pada setiap perayaan 17 Agustus-an. Konon karena dilarang oleh rezim pemerintahan orde baru.
Selama hampir 32 tahun, kami tidak pernah lagi dapat menyaksikan seni pertunjukan barongsai dan liong itu.
Sehingga ketika rezim orde baru jatuh dan zaman pun berganti dengan era reformasi, tepatnya saat pemerintahan dipimpin oleh KH Abdurrahman Wahid, alias Gus Dur, pertunjukan seni barongsai, termasuk perayaan hari raya Imlek, dapat kami saksikan kembali.
Berkat kebijakan Gus Dur, kami yang berbeda ras dan agama, tetapi terikat dengan persamaan hak sebagai sesama manusia, serta satu bangsa dan negara Indonesia, saya pun ikut bergembira atas kebijakan Gus Dur tersebut.
Hanya saja entah kenapa, entah lantaran perbedaan ras dan agama juga, sampai saat ini masih saja ditemukan etnis Tionghoa yang mengambil jarak dengan yang bukan etnis mereka.
Sebagaimana yang pernah saya alami sendiri saat tinggal di Jakarta. Tetangga di seberang jalan, kebetulan keluarga dari etnis Tionghoa. Tapi jangankan dengan warga satu komplek, dengan keluarga kami yang rumahnya berhadapan, dan hanya dipisahkan oleh jalan selebar lima meter saja, terkesan enggan untuk saling kenal.
Inilah masalah yang sebenarnya harus didobrak, agar tidak terjadi hal yang tidak diharapkan, sebagaimana yang pernah terjadi beberapa waktu lewat.
Padahal bermula dari hal yang tidak jelas, lantaran adanya jarak, timbul kecurigaan misalnya, kemudian dimanfaatkan pihak ketiga, sebagaimana yang terjadi di tahun 1998 lalu.
Oleh karena itu, pada perayaan Imlek tahun ini, semoga warga Tionghoa dapat mengambil hikmahnya. Di dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, jangan ada lagi jurang pemisah dengan warga yang lainnya.
Gong Xi Fa Cai... Semoga kita semua mendapatkan berkah kesehatan dan keselamatan, juga rezeki yang berlimpah di tahun ini, juga tahun-tahun berikutnya. ***
,Â