Sebagaimana halnya dengan politikus PDIP yang juga baru-baru ini yang meminta Jaksa Agung supaya memecat seorang Kepala Kejaksaan Tinggi yang berbicara bahasa Sunda.
Setelah ramai jadi perbincangan hangat, dan viral di media sosial, disertai hujatan yang disertai ancaman dari pihak yang menjadi korban sasaran tembak, tokh ujung-ujungnya, baik Edy Mulyadi maupun Arteria Dahlan pun menyatakan permintaan maaf.
Ya, setelah sebelumnya tampil begitu pongah dan gagah, ternyata akhirnya mereka, Edy Mulyadi dan Arteria Dahlan, serupa pecundang yang kalah sebelum bertarung di arena seorang ksatria jantan yang sesungguhnya.
Yang menggelikan, sekaligus membikin publik semakin faham akan perilaku politikus adalah pernyataan induk partai politik tempat yang bersangkutan bernaung selama ini.
Pernyataan berbau bantahan dari juru bicara PKS yang menyebut Edy Mulyadi bukan kader partai yang mentasbihkan diri sebagai partai dakwah itu ternyata suatu kebohongan belaka.
Buktinya, mantan presiden PKS, yang juga mantan Menkominfo, Tifatul Sembiring, ikut-ikutan "membela" seorang Edy Mulyadi. Berbagai media massa mengangkat pernyataannya yang mengklarifikasi ihwal ungkapan "tempat jin buang anak".
Sehingga publik pun berkesimpulan, kata yang pantas dan tepat bagi sikap politikus seperti itu, adalah "munafik" yang lihai memutar-mutar balik ucapan, tapi bertentangan dengan fakta yang sesungguhnya.
Seperti juga ungkapan "pernyataan yang bersangkutan merupakan pernyataan pribadi, dan bukan sikap partai", adalah suatu pernyataan sebagai bentuk cuci tangan, sekaligus bela diri dari partai politik manapun ketika salah seorang kadernya bersikap kontroversial, adalah pernyataan basi yang penuh dengan kemunafikan.
Sehingga apa pun alasannya, meskipun mencoba untuk mendadak menjadi seorang ahli bahasa sekalipun, dengan membuat penafsiran, atau juga penjelasan suatu ungkapan, publik pun tetap tidak bisa diakali begitu saja.
Karena apabila dirunut dari awal, bagaimana Edy Mulyadi, maupun Arteria Dahlan, melontarkan kata-kata dari mulutnya, dengan mimik wajah dan gestur tubuhnya, selain penuh emosi, juga disertai dengan sikap yang melecehkan.Â
Oleh karena itu, memang benar, tak ada manusia yang sempurna, berbuat baik dan salah sudah menjadi kodratnya. Akan tetapi jika kesalahan serupa terus berulang dilakukan, apa lagi kesalahannya itu dianggap sebagai suatu hal yang bertentangan dengan adat-istiadat, norma kesopanan, dan aturan perundangan (SARA), hingga berujung menjadi ancaman terjadinya perpecahan dalam bingkai Bhinneka Tunggal Ika, apakah masih tetap akan dibiarkan?