Belakangan ini banyak pihak yang meributkan soal naturalisasi pemain sepak bola berdarah campuran untuk memperkuat skuad Garuda.
Tapi ternyata beberapa tahun yang lalu, bangsa ini pun pernah kehilangan beberapa atletnya yang pernah mengharumkan bangsa dan negara Indonesia di beberapa even tingkat dunia.
Adakah ketika itu warga +62 bersuara, atau juga federasi olahraga yang menaunginya menghalangi mereka, maupun pemerintah sendiri, dalam hal ini Kementerian Pemuda dan Olahraga memberikan reaksi?
 Memang di saat para atlet tersebut menyatakan pindah kewarganegaraan, dan menjadi atlet andalan di negaranya yang baru, masyarakat pecinta olahraga bulutangkis khususnya, terhenyak juga karenanya. Bahkan sempat menimbulkan pro dan kontra.
Adalah Mia Audina Tjiptawan, seorang etnis Tionghoa-Indonesia, pemain bulu tangkis peraih medali perak Olimpiade Atlanta 1996 dan Athena 2004.Â
Mia pun ikut memperkuat Tim Piala Uber Indonesia saat masih berumur 14 tahun, dan menjadi anggota Tim Piala Uber termuda sepanjang sejarah bulu tangkis.
Pebulutangkis kelahiran Jakarta, 22 Agustus 1979 ini, sebagaimana dikutip dari indosport.com secara mengejutkan menjadi penentu kemenangan tim Piala Uber melawan China pada 1994. Dan dua tahun berselang, ia juga membantu Merah Putih mempertahankan gelar tersebut.
Berbagai turnamen Grand Prix pun menjadi saksi kelincahan dan Mia Audina. Beberapa gelar yang dimenangkan antara lain US Open 1996, Japan Open 1997, dan Indonesia Open 1998.
Namun karena alasan cinta, Mia Audina memutuskan untuk berpindah kewarganegaraan ke Belanda sejak menikah pada tahun 2000.Â
Tak lagi membela bendera Merah Putih tak membuat Mia Audina berhenti berkarier sebagai seorang atlet bulutangkis. Malahan, kariernya tetap moncer dengan membawa panji-panji Negeri Kincir Angin, bahkan menorehkan sejumlah rekor penting dalam sejarah bulutangkis Belanda.
Begitu juga dengan Tony Gunawan, pebulutangkis legenda spesialis di sektor ganda. Bersama Candra Wijaya, Tony mencatat tinta emas untuk bulutangkis Indonesia ketika menjuarai Olimpiade Sydney 2000.
Akan tetapi demi karirnya yang lain, tepatnya untuk menimba ilmu dalam bidang computer engineering di negeri Paman Sam, Amerika Serikat. Dan ketika Tony Gunawan menikah dengan Etty Tantri, pasangan muda itu pun memutuskan untuk menjadi warga negara Amerika Serikat.
Sebagaimana diketahui, Etty Tantri pun merupakan mantan pebulutangkis Indonesia keturunan China. Selain pernah menjadi wakil Indonesia, juga juga mewakili Amerika Serikat di turnamen internasional.Â
Selama kariernya, Etty Tantri lebih fokus bermain di sektor ganda putri. Saat membela Indonesia, wanita kelahiran 14 Oktober 1975 itu pernah berpasangan dengan Cynthia Tuwankotta dan Minarti Timur.
Jadi apabila sekarang ini di dalam olahraga sepak bola, federasi sepakbola Indonesia, yakni PSSI mempunyai program naturalisasi para pemain keturunan Indonesia yang tinggal di negara lain, kenapa harus dipersoalkan?
Tokh, seorang Mia Audina saja yang cuma karena mengikuti suaminya, seorang warga negara Belanda keturunan Suriname, tidak menuai banyak pertentangan. Sebaliknya justru malah disambut baik, dan mendapatkan kehormatan.
Demikian pula halnya dengan Tony Gunawan dan Etty Tantri yang pindah kewarganegaraan, dan tinggal di Amerika Serikat, apakah Kemenpora, PBSI, dan publik bulu tangkis mampu mencegahnya?
Di sinilah kiranya kita harus mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman. Batas-batas yang selama ini menjadi tanda perbedaan antara satu negara dan bangsa dengan yang lainnya, tampaknya sudah membias tersapu globalisasi.
Terlebih lagi dengan program naturalisasi yang dilakukan Shin Tae-yong bersama federasi sepakbola Indonesia, PSSI, masih dianggap normal, dan tidak lepas faktor-faktor yang masih bisa diterima oleh pemahaman kebangsaan, dan juga persyaratan yang sesuai dengan kebutuhan.
Betapa tidak. Nama-nama yang masuk radar pelatih asal Korea Selatan, seperti Sandy Walsh, Jordi Amat, Mees Hilgers, atau juga Ragnar Oratmangoen, di samping masih memiliki garis keturunan langsung dari ibu, atau ayahnya yang berdarah asli Indonesia, nama-nama di atas pun masih berumur relatif muda, dan memiliki skill bermain sepak bola yang tidak boleh dipandang sebelah mata, tentu saja.Â
Jadi, sudahlah polemik soal naturalisasi ini tutup sampai di sini. Akan lebih bijak jika kita dukung, dan beri semangat kepada Shin Tae-yong agar impian timnas Indonesia mampu berprestasi lebih baik lagi. Paling tidak di level Asia Tenggara, dan benua Asia, mampu berbicara banyak.Â
Jadi juara memang tujuan utama. Tapi untuk mencapainya sudah pasti harus melalui proses panjang yang menuntut kita semua harus sedikit bersabar. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H