Urang Sunda tersinggung. Permintaan politikus PDIP, Arteria Dahlan, yang meminta seorang Kepala Kejaksaan Tinggi untuk dipecat oleh Jaksa Agung, lantaran menggunakan bahasa Sunda dalam suatu forum, menjadi pembicaraan khalayak yang ramai berdengung.Â
Bak maung (macan) Siliwangi yang marah mengaum. Hujatan demi hujatan yang disuarakan memenuhi setiap ruang.Â
Celakanya, partai politik pimpinan Megawati Soekarnoputri pun sampai-sampai menjadi sasaran untuk diluluh-lantakkan di Pemilu 2024 mendatang, apabila Arteria Dahlan, tidak meminta maaf kepada urang Sunda, dan dipecat dari kedudukannya sebagai anggota dewan di Senayan.
Kemarahan yang spontan, lantaran merasa akar budaya warisan nenek moyangnya disepelekan, adalah suatu hal yang wajar. Bisa terjadi kepada suku bangsa manapun juga.
 Dan sikap anggota DPR RI dari fraksi PDIP tersebut jelas sudah dianggap sebagai suatu yang bertentangan dengan aturan perundangan, maupun dalam konteks kesatuan dan persatuan dalam berbangsa dan bernegara yang seharusnya dijunjung tinggi.
Memang benar. Marwah Soempah Pemoeda yang dikumandangkan pada 28 Oktober 1928 silam, merupakan suatu keniscayaan yang harus tetap dipertahankan di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di negeri ini.
Akan tetapi, perlu diingat juga, lahirnya bahasa Indonesia tidak terlepas dari keragaman berbagai bahasa dari setiap suku bangsa di Indonesia ini yang begitu banyak jumlahnya dari Sabang hingga Merauke, dari Miangas sampai pulau Rote.
Bahkan perlu diingat. Dalam setiap forum internasional, yang dihadiri oleh para pemimpin negara dari berbagai belahan dunia, banyak kepala negara, termasuk Presiden Jokowi misalnya, yang menggunakan bahasa Indonesia.
Apakah di dalam forum internasional tersebut seluruh audiens -nya mengerti kata-kata yang disampaikan Jokowi dalam bahasa Indonesia? Tentu saja tidak. Penyelenggara sudah menyediakan tenaga penterjemah untuk setiap audiens-nya dalam bahasa masing-masing, tentu saja.
Jadi kenapa tidak di Senayan pun disediakan tenaga penterjemah bahasa dari berbagai daerah misalnya, supaya seorang Arteria Dahlan tidak naik darah?Â
Bukankah anggaran untuk anggota dewan sedemikian besar? Daripada dipakai untuk hura-hura tidak jelas, ada baiknya digunakan untuk melestarikan budaya dan bahasa dari setiap daerah yang sekarang ini banyak yang dianggap sudah hampir punah.
Bisa jadi yang paling menusuk perasaan urang Sunda adalah permintaannya kepada Jaksa Agung agar memecat Kajati yang berbahasa Sunda tersebut.
Padahal Jaksa Agung sendiri sesungguhnya asli urang Sunda juga. Keturunan daerah Majalengka. Adik dari politikus PDIP, TB Hasanuddin.Â
Jangan-jangan Arteria Dahlan pun menyasar Jaksa Agung dan rekannya di DPR tersebut? Dan ingin memecah-belah kesatuan dan persatuan kebhinekaan yang terjalin dalam ke-ika-an? Lebih jauh lagi, hendak merusak elektabilitas PDIP sendiri?
Tapi terlepas dari itu, sebagai seorang wakil rakyat, Arteria Dahlan sudah seharusnya bersikap bijak. Di dalam forum negara jangan asal berteriak: Pecat! Terlebih lagi sampai menyinggung perasaan salah satu suku bangsa.
Tapi jika PDIP, khususnya Megawati tidak bersikap tegas terhadap seorang Arteria Dahlan ini, dengan memecatnya sebagai anggota dewan - tentu saja, entah bagaimana elektabilitas PDIP dalam Pemilu 2024 mendatang.
Sebab bukan kali ini saja yang bersangkutan bersikap kontroversial. Semua orang pun sepertinya sudah mengetahui kelakuan Arteria Dahlan. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H