Peristiwa gempa berkekuatan magnitudo 6,7 di 52 kilometer Barat Daya Sumur-Banten sekitar pukul 16.05.41 WIB, Jumat (14/1/2022) sore, guncangannya terasa sampai ke daerah kami, Tasikmalaya, Jawa Barat, dan sekitarnya.
Dan fenomena gempa bumi, pertama kali dikenal penulis sendiri, dari dongeng pengantar tidur yang dituturkan nenek. Mungkin saat usia saya sekitar tiga atau empat tahun ketika itu.
Dikisahkan oleh nenek dari garis ibu itu, konon ada seekor sapi di alam ini yang pada salah satu tanduknya menyangga bola dunia ini.
Nah, di saat sapi tersebut merasakan beratnya beban menyangga bola dunia pada salah satu tanduknya itu, maka sapi tersebut menggoyang-goyangkan kepalanya. Mungkin untuk menghilangkan rasa pegal, atau... Entahlah, nenek tak pernah menjelaskan ihwal tersebut lebih jauh lagi.
Hanya saja yang jelas, manakala sapi tersebut menggoyang-goyangkan kepalanya, maka bola dunia di atas tanduknya pun ikut berguncang pula.
Sehingga dampaknya, penghuni dunia pun, terutama manusia, menjadi ketakutan dibuatnya. Dan fenomena ini, bagi masyarakat Pasundan, dikenal dengan sebutan "Lini".
Kemudian ketika tanah di sekitar kami bergoyang, maka orang-orang pun berhamburan keluar dari rumah masing-masing seraya memukuli tampah (Nyiru, bahasa Sunda) sambil berteriak-teriak "Lini! Lini! Lini..." Dan ada juga yang meneriakkan kata-kata, "Aya... Aya... Aya!” yang artinya dalam bahasa Indonesia adalah "Ada".
Ketika penulis bertanya kepada orang tua, kenapa harus mengatakan kata-kata seperti di atas? Jawabannya adalah bahwa yang dimaksud Lini seperti dongeng yang sering diceritakan nenek. Atau dengan kata lain bisa jadi bermakna gempa lantaran sapinya merasakan pegal-pegal harus bertugas menyangga bola dunia.
Sementara kata "Aya", konon merupakan isyarat pemberitahuan kepada sapi, bahwa di dunia ini masih ada penghuninya.
Dari Komik ke Pengalaman Nyata