Sebelum menyampaikan maksudnya dan hendak mencium tangan, Abah Anom berkata, “Kiai (Gus Dur), seandainya Kyai mampu memaafkan orang-orang yang mendzalimi, jangankan jadi Ketua NU jadi Presiden pun bisa.”
Pada 7 Oktober 1999, apa yang pernah dikatakan almarhum Abah Anom menjadi kenyataan. Atas prakarsa Amien Rais melalui poros tengahnya, dalam sidang MPR berhasil mendudukkan Gus Dur sebagai Presiden Indonesia.
Tapi ketika itu tugas berat menanti Gus Dur. Indonesia sedang dalam masa krisis multidemensi: krisis ekonomi, krisis politik, krisis keamanan dan seabreg masalah lain.
Gus Dur menjabat sebagai Presiden RI ke-4 tidak sampai satu periode, atau dalam kurun waktu lima tahun. Tapi hanya sekitar dua tahun saja. Tepatnya sejak 20 Oktober 1999 sampai 23 Juli 2001.
Adalah Amin Rais, pendiri PAN dan Partai Umat, juga yang ketika itu menjatuhkannya.
Ada yang menarik dari ungkapan yang dilontarkan Gus Dur setelah beliau dijatuhkan. Gus Dur dengan tenang membuat cerita bahwa ia menjadi presiden dengan modal dengkul. Itu pun dengkul Amien Rais, orang yang menjatuhkannya melalui parlemen.
Tetapi sebagai seorang berjiwa besar, Gus Dur, tidak menaruh dendam kepada orang yang telah menjatuhkannya itu.
Sebagaimana diucapkannya, "Maafkan musuh-musuhmu, tapi jangan lupakan kesalahan-kesalahannya."
Senada dengan amanat almarhum Abah Anom saat berbincang dengan Gus Dur memang. Bahwa, “Kudu mikanyaah ka jalma nu mikangewa ka anjeun”( bahasa Sunda: Harus menyayangi kepada orang yang membencimu).
Tapi kenyataannya, masih banyak di antara kita yang belum mampu bersikap seperti itu, ya? Orang yang membenci kita, dibalasnya pula sedemikian rupa. Maka permusuhan pun jadi berkepanjangan.
Bahkan permusuhan pun dibawa sampai masuk ke liang lahat. Lupa untuk bermaaf-maafan.