Mohon tunggu...
Adjat R. Sudradjat
Adjat R. Sudradjat Mohon Tunggu... Penulis - Panggil saya Kang Adjat saja

Meskipun sudah tidak muda, tapi semangat untuk terus berkarya dan memberi manfaat masih menyala dalam diri seorang tua

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Ihwal Partai Demokrat, Dulu Begitu Pongah Sekarang Malah Resah

20 Desember 2021   17:06 Diperbarui: 20 Desember 2021   17:36 635
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: tribunnews.com

Tak syak lagi. Di dalam politik memang tidak ada yang kekal dan abadi. Segalanya begitu nisbi. Baik perseteruan atau juga perkoalisian. Dan yang abadi hanya satu tujuan, untuk mendapatkan kekuasaan. Itu saja. Lain tidak.

Sebagaimana halnya dengan Presidential Threshold (PT), atau ambang batas pencalonan pasangan presiden dan  wakil presiden, yang belakangan ini ramai diperbincangkan. 

Terlebih lagi dengan sikap partai Demokrat yang tampak sangat ngotot agar ambang batas tersebut diturunkan hingga 0 persen.

Publik pun semakin yakin. Sikap parpol yang sekarang ini dipimpin oleh Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), menjadi presentasi bahwa keluarga Cikeas begitu berhasrat untuk memegang kendali kekuasaan - sebagaimana pernah sepuluh tahun lamanya dipimpin  SBY - di negara ini.

Demikian juga publik pun sudah mengetahui, dan menilai, bahwa ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden sebesar 20 persen ditetapkan tahun 2009 lalu. Diinisiasi oleh partainya SBY sendiri yang saat itu tengah berkuasa.

Sungguh. Sungguh-sungguh menggelikan memang. Dulu pihaknya yang menentukan. Sekarang pihaknya pula yang berteriak-teriak supaya diturunkan.

Sehingga hal itu tidak luput dengan celotehan yang menyebutkan, dulu begitu pongah, tapi sekarang begitu resah dan gelisah.

Padahal seharusnya tidak boleh resah dan gelisah. Apa lagi bapak dan anak adalah mantan prajurit TNI. Sebaliknya justru berjuanglah untuk meningkatkan elektabilitas partainya, seperti 2009 lalu. Bagaimana cara untuk mendapatkan dukungan dengan sikap yang elegan, bukan dengan tipu-daya. Lantaran cara licik itu sudah kadaluarsa.

Atau jangan-jangan jiwa ksatrianya sudah luntur. Tergerus oleh ambisi yang tak terbendung lagi. Di mata dan di dalam dadanya hanya terfokus pada kursi empuk sebagai orang nomor satu di negeri ini.

Sehingga saking berambisinya sampai lupa untuk bercermin, melihat bayangan diri sendiri. Bahkan ludah sendiri pun dijilatinya kembali.

Entahlah. Yang jelas parpol yang pertama kali ikut Pemilu legislatif tahun 2004 itu, secara mengejutkan langsung mendapatkan 57 kursi di DPR RI.

Bahkan dalam Pilpres tahun itu juga, SBY yang berpasangan dengan Jusuf Kalla berhasil meraih kemenangan dengan mengalahkan pesaingnya. Di antaranya pasangan Megawati-Prabowo.

Sebagai partai penguasa, dalam Pemilu 2009 parpol berlogo mercy dengan corak warna mayoritas biru itu mendapatkan 150 kursi di DPR, dan pasangan SBY-Budiono tampil memenangkan pemilihan presiden. 

Seperti Buah yang Matang Sebelum Waktunya

Akan tetapi entah kenapa, entah punya watak kagetan, entah lantaran aji mumpung, tiba-tiba saja beberapa kadernya yang dimotori bendahara umum DPP PD, M. Nazaruddin, tersangkut kasus korupsi Wisma atlet Sea Games 2011.

Bahkan saat itu, Nazaruddin sampai menjadi buruan polisi yang melibatkan Interpol. Lantaran mencoba kabur sampai ke Kolumbia, Amerika Selatan.

Dari kasus itu juga akhirnya merembet dengan terbongkarnya kasus korupsi Hambalang yang menyeret Andi Mallarangeng, Anas Urbaningrum, Angelina Sondakh, dan yang lainnya.

Dampaknya pun langsung dibuktikan dengan perolehan kursi di DPR yang melorot menjadi hanya 61 kursi saja pada pemilu legislatif 2014.

Apa lagi dalam Pemilu 2019, partai yang menghantarkan SBY berkuasa selama dua periode ini cuma mendapatkan 54 kursi saja di DPR.

Walakin dengan kondisi yang memprihatinkan itu - sebagaimana yang sering diucapkan SBY, bukannya melakukan instrospeksi diri. Sebaliknya justru malah menyalahkan pihak lain yang belum jelas benar tidaknya.

Sehingga publik pun menilai, kalau parpol yang satu ini seperti buah yang matang sebelum waktunya. Dengan kata lain, matang yang dipaksakan.

Terbukti ketika beberapa kader, eks kader, dan pihak eksternal partai Demokrat menyelenggarakan KLB tandingan, sikap jajaran petingginya bak kebakaran jenggot saja, meskipun pada akhirnya proses hukumnya dimenangkan pihak Cikeas juga.

Oleh karena itu, andaikan AHY dan parpol yang dipimpinnya ingin meraih kembali kekuasaan, dan membutuhkan dukungan dari rakyat banyak - tentunya, sepertinya strategi yang sekarang ini diterapkan, tidak akan mengundang simpati para konstituen.

Apa lagi dengan melakukan kritikan yang tidak jelas terhadap rezim yang berkuasa, malah menimbulkan kegaduhan, dan dianggap sebagai bumerang yang begitu mudahnya membungkam mulut sendiri.

Akan lebih elok tampaknya, andaikan AHY bersama parpolnya melakukan kegiatan yang bermanfaat untuk kemaslahatan rakyat banyak. 

Ataukah cukup hanya dengan membagi-bagikan "sedekah politik" saja pada saat kampanye?

Entahlah. Yang jelas rakyat sudah muak dengan tontonan yang sama sekali tidak menarik, dan yang diperankan elit partai politik manapun juga sekarang ini.

Bisanya cuma berteriak-teriak saja. Padahal sebagai yang seharusnya memberikan teladan bagi rakyat, akan lebih terpuji jika melakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi. 

Mendiang Gus Dur pun kan pernah bilang, Gitu aja koq repot! ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun