Mohon tunggu...
Adjat R. Sudradjat
Adjat R. Sudradjat Mohon Tunggu... Penulis - Panggil saya Kang Adjat saja

Meskipun sudah tidak muda, tapi semangat untuk terus berkarya dan memberi manfaat masih menyala dalam diri seorang tua

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Presiden Jokowi Pun Tegaskan Hukuman bagi "Monster" Herry Wirawan

15 Desember 2021   06:33 Diperbarui: 15 Desember 2021   06:50 721
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Herry Wirawan, monster seksual (Sumber: tribunnews.com)

Banyak pihak yang menyuarakan agar hakim Pengadilan Negeri (PN) Bandung memvonis Herry Wirawan, oknum Ustadz pelaku pemerkosaan 12 santriwati di kota Bandung, dengan hukuman yang seberat-beratnya, dan ditambah dengan hukuman kebiri.

Tidak hanya masyarakat umum saja yang geram dan meminta supaya monster seksual ini diganjar hukuman seberat-beratnya, dan ditambah dengan hukum kebiri itu

Banyak juga dari kalangan selebriti, politisi, akademisi, sampai kementerian PPA juga menyuarakan tuntutan yang sama.

Bahkan Presiden Jokowi sendiri, menaruh perhatian khusus terhadap kasus yang menghebohkan ini.

Jokowi meminta penanganan hukuman terhadap Herry dilakukan tegas, dan meminta agar memperhatikan kondisi korban.

Memang selain dianggap bejat dan biadab, sampai dijuluki monster, yakni semacam makhluk yang menakutkan, juga dalam melakukan aksinya, monster ini berlindung di balik lembaga pendidikan agama, sekaligus telah dinodainya, tentunya.

Bagaimanapun 12 santriwati - kemudian belakangan ini terungkap 21 orang, yang menjadi korban rudapaksa Herry Wirawan, di samping masih di bawah umur, juga bayi-bayi yang dilahirkan korban malah dimanfaatkan untuk mendapatkan belas-kasih dengan dikamuflase sebagai yatim-piatu.

Sehingga wajar apabila kepala negara, maupun publik dalam menyikapi kasus ini memiliki pandangan yang sama.

Terlebih lagi Presiden pun telah menetapkan Peraturan Pemerintah terkait teknis pelaksanaan hukuman kebiri kimia kepada para terpidana pelaku kekerasan seksual terhadap anak. 

Sebagaimana dikutip dari kompas.com, aturan itu tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 70 tahun 2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitasi, Dan Pengumuman Identitas Pelaku Kekerasan Seksual Terhadap Anak. 

Sebagaimana tercantum dalam pasal 1 ayat 3 berbunyi: 

"Pelaku Kekerasan Seksual Terhadap Anak adalah pelaku tindak pidana persetubuhan kepada Anak dengan kekerasan atau ancaman kekerasan seksual memaksa Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain dan pelaku tindak pidana perbuatan cabul kepada Anak dengan kekerasan atau ancaman kekerasan seksual, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul."

Lalu yang menjadi pertanyaannya, apakah jaksa penuntut umum, dan majelis hakim di Pengadilan Negeri Bandung dalam persidangan kasus pemerkosaan 12 santriwati dengan terdakwa " monster" bernama Herry Wirawan ini, memiliki pertimbangan yang sama dengan tuntutan yang disuarakan publik?

Inilah masalahnya.

Publik sudah seringkali menyaksikan sikap jaksa penuntut umum, maupun majelis hakim di dalam suatu persidangan yang menuntut, dan atau memvonis terdakwa dianggap publik kontroversi.

Misalnya saja dengan kasus pelanggaran kekarantinaan dengan terdakwa selebgram Rachel Venya.

Publik, maupun warga di dunia maya tidak menerima dengan sanksi ringan terhadap Rachel Vennya. Mereka dengan spontan menyikapinya  menaruh komentar provokatif dan menyerang yang didefinisikan sebagai sentimen yang disebut "internet troll".

Begitu juga dengan tuntutan jaksa penuntut umum dengan terdakwa seorang jaksa bernama Pinangki Sirna Malasari, yang tersangkut kasus Joko Tjandra beberapa waktu lalu.

Jaksa penuntut umum hanya menuntut hukuman penjara selama empat tahun dan denda Rp 500 juta terhadap terdakwa.

Sehingga publik pun menganggap tidak adil atas tuntutan jaksa tersebut. Mereka menuding sikap jaksa lantaran terdakwa merupakan koleganya di dalam korps Adhyaksa.

Bahkan seorang hakim di dalam sebuah persidangan selalu saja dikatakan telah bersikap seadil-adilnya, dan atas dasar berbagai pertimbangan yang sematang-matangnya sebelum mengetok palu vonisnya bagi terdakwa.

Sekalipun vonis itu bertentangan dengan hati nurani masyarakat banyak. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun