Sebagaimana tercantum dalam pasal 1 ayat 3 berbunyi:Â
"Pelaku Kekerasan Seksual Terhadap Anak adalah pelaku tindak pidana persetubuhan kepada Anak dengan kekerasan atau ancaman kekerasan seksual memaksa Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain dan pelaku tindak pidana perbuatan cabul kepada Anak dengan kekerasan atau ancaman kekerasan seksual, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul."
Lalu yang menjadi pertanyaannya, apakah jaksa penuntut umum, dan majelis hakim di Pengadilan Negeri Bandung dalam persidangan kasus pemerkosaan 12 santriwati dengan terdakwa " monster" bernama Herry Wirawan ini, memiliki pertimbangan yang sama dengan tuntutan yang disuarakan publik?
Inilah masalahnya.
Publik sudah seringkali menyaksikan sikap jaksa penuntut umum, maupun majelis hakim di dalam suatu persidangan yang menuntut, dan atau memvonis terdakwa dianggap publik kontroversi.
Misalnya saja dengan kasus pelanggaran kekarantinaan dengan terdakwa selebgram Rachel Venya.
Publik, maupun warga di dunia maya tidak menerima dengan sanksi ringan terhadap Rachel Vennya. Mereka dengan spontan menyikapinya  menaruh komentar provokatif dan menyerang yang didefinisikan sebagai sentimen yang disebut "internet troll".
Begitu juga dengan tuntutan jaksa penuntut umum dengan terdakwa seorang jaksa bernama Pinangki Sirna Malasari, yang tersangkut kasus Joko Tjandra beberapa waktu lalu.
Jaksa penuntut umum hanya menuntut hukuman penjara selama empat tahun dan denda Rp 500 juta terhadap terdakwa.
Sehingga publik pun menganggap tidak adil atas tuntutan jaksa tersebut. Mereka menuding sikap jaksa lantaran terdakwa merupakan koleganya di dalam korps Adhyaksa.
Bahkan seorang hakim di dalam sebuah persidangan selalu saja dikatakan telah bersikap seadil-adilnya, dan atas dasar berbagai pertimbangan yang sematang-matangnya sebelum mengetok palu vonisnya bagi terdakwa.