"Kami suka menekan dari posisi depan, dengan counter-pressure yang sangat intens. Saat bola kami kuasai, kami tak suka mengoper ke belakang atau ke samping. Kiper juga tak bisa jadi pemain yang paling sering menyentuh bola."
"Nyaris di semua negara dan liga, kiper secara teknis adalah pemain yang paling terbatas dan oleh karena itu kami harus memastikan bahwa bola paling jarang sampai ke kakinya."
"Ini merupakan sebuah (gaya) sepakbola yang cepat, proaktif, menyerang, counter-attacking, counter-pressing, menarik, dan menghibur," tutur Ralf Rangnick, sebagaimana dikutip dari Detik.com.
***
Akan tetapi akan mampukah Sang Profesor, Ralf Rangnick, yang rencananya akan dikontrak MU untuk enam bulan ke depan, untuk mengangkat prestasi klub sepak bola yang di satu kota dengan The Citizen itu, menjadi jawara EPL, bahkan merebut trophy Liga Champions benua Eropa?
Inilah masalahnya.
Penulis tetap saja melihat permasalahan ini dari dua sisi, tentu saja.
Sisi positif pelatih yg sudah veteran, sebagaimana Ralf Rangnick yang berusia 63, adalah senioritas dan pengalamannya.
 Namun sisi negatifnya, metode dan gaya kepelatihannya bisa jadi sudah kadaluarsa alias jadul bin lawas, tepatnya bisa jadi kurang cocok dengan perkembangan zaman.
 Kita mungkin pernah menyaksikan dengan yang terjadi pada seorang Arsene Wenger yang dijuluki 'Le Professeur', dan malang-melintang melatih The Gunners, Arsenal.
Pada awalnya berkat inovasi dalam metode kepelatihan, taktik dan strategi yang diterapkan, berhasil mengangkat prestasi Arsenal. Terbukti dalam kurun musim 1997–98, 2001–02, 2003–04, berhasil membawa Arsenal menjadi jawara EPL, dan pada musim 1997–98, 2001–02, 2002–03, 2004–05, 2013–14, 2014–15, 2016-17 merebut piala FA.