Sebagaimana yang marak terjadi di kawasan Puncak, Bogor, dan Cianjur, Jawa Barat. Sehingga dampaknya sangat jelas begitu fatal, dan menimbulkan pembunuhan yang tidak diharapkan.
Akan halnya fenomena kawin kontrak yang marak terjadi di kawasan wisata tersebut, sebenarnya sudah bukan merupakan permasalahan yang perlu ditutup-tutupi lagi.
Sepuluh tahun yang lalu sebuah video yang berjudul INDONESIA: Halal Sex yang diunggah di You Tube oleh akun channel bernama FRANCE 24 English, cukup menghebohkan. Sehingga prostitusi yang berbalut wisata halal bernama kawin kontrak di kawasan Puncak Bogor dan Cianjur itupun menjadi perhatian dunia.
Sebenarnya pihak pemerintah pusat dan daerah pun, dalam hal ini Pemkab Cianjur, terlihat menaruh perhatian terhadap masalah kawin kontrak ini. Terlebih lagi setelah mencuatnya kasus pembunuhan yang dilakukan warga negara Arab Saudi terhadap pasangan kawin kontraknya.Â
Pihak Pemkab Cianjur, sebagaimana dikatakan Bupati Herman Suherman, mengaku sebenarnya telah menerbitkan peraturan bupati (Perbup) Â tentang pencegahan kawin kontrak pada Juni 2021 lalu.
Begitu juga dengan pemerintah pusat. Melalui Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), sebagaimana dijelaskan Deputi  Perlindungan Hak Perempuan, Ratna Susianawati, pemerintah juga memaksimalkan gerakan-gerakan di masyarakat, melalui forum-forum di daerah dan para aktivis untuk melakukan sosialisasi.
Bahkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) pusat, diketahui sudah mengeluarkan fatwa terkait kawin kontrak sejak 25 Oktober 1997 silam. Dalam fatwanya, MUI memutuskan bahwa nikah kontrak atau mut'ah hukumnya haram.
Akan tetapi walaupun pihak pemerintah telah mengeluarkan peraturan, dan ulama telah menyampaikan fatwanya, kenapa sampai saat ini praktik prostitusi terselubung dengan diberi label kawin kontrak itu masih saja terus terjadi?
Suka maupun tidak, baik pemerintah maupun ulama tampaknya belum bekerja secara maksimal dalam upaya memutus mata rantai terjadinya praktik perzinaan berbalutkan kawin kontrak itu.
Misalnya saja antara pemerintah pusat dengan daerah perlu untuk duduk bersama kembali untuk membuat peraturan yang mengikat, dan disertai sanksi yang tegas. Kemudian peraturan itu jangan hanya disimpan di lemari arsip saja, melainkan harus disosialisasikan secara gencar sampai membuahkan hasil nyata, kepada seluruh lapisan masyarakat, tentu saja.
Demikian juga kepada para ulama, khusus yang tergabung di dalam wadah MUI, daripada berdebat urusan politik negara, apa lagi urusan dana hibah anggaran, maupun persoalan biaya label halal yang menggiurkan, akan lebih elok dan tepat apabila soal kawin kontrak ini menjadi topik bahasan yang diprioritaskan.