Selama ini boleh jadi publik mengenal seorang Puan Maharani hanya sebatas anak kandung Megawati, salah seorang cucu Proklamator kemerdekaan RI, Bung Karno, ditambah sebagai seorang menteri koordinator dalam kabinet Jokowi-JK, dan terakhir sebagai ketua DPR RI.
Sementara itu, dari penampilannya sering kali publik melihat sosok Puan Maharani yang hadir dengan tatapan mata yang dingin, dan tanpa senyuman seulas pun dari bibirnya.
Seakan-akan ia ingin memberikan kesan dan pesan kepada publik bahwa, " Ini loh aku seorang anak dari ketua umum partai yang memiliki pendukungnya paling banyak di Indonesia ini... Ini loh aku salah satu cucu Bung Karno, founding fathers bangsa ini..."
Akan tetapi hal itu hanyalah sebatas duga-reka belaka. Publik yang sekilas melihatnya di layar televisi, atau paling banter ketika kebetulan berpapasan di salah satu koridor gedung DPR RI Senayan  - sebagaimana penulis pernah alami saat dirinya masih menjabat ketua fraksi PDI Perjuangan.
Kesan semacam itu bisa terjadi lantaran publik tidak mengenal Puan. Demikian juga Puan sendiri tidak tahu siapa orang yang berpapasan dengannya. Bahkan boleh jadi pula status sosial pun begitu kental  berlaku dalam kasus seperti itu.
Bagaimanapun seorang Puan yang sejak lahir hingga dewasa berada di dalam lingkungan kaum elit, sudah pasti di dalam kesehariannya telah diberi rambu-rambu sebagaimana halnya kaum borjuis, atau paling tidak bersikap aristokrat yang menciptakan sekat berseberangan antara golongan kaya dengan golongan melarat yang memang sudah lama melekat sebagai budaya terciptanya kasta di Indonesia ini.Â
Meskipun terlepas dari jargon parpolnya sendiri sebagai partai "Wong Cilik", apalah artinya kalau hanya sebatas dibutuhkan lima tahun sekali, dan setelahnya kemudian tidak dipedulikannya lagi.
Entah suatu kebetulan, entah juga memang sudah tibanya karma menyambangi seorang Puan Maharani. Sehingga tirai yang menyebarkan teka-teki seputar wataknya seorang Puan Maharani selama ini, pada akhirnya terkuak sudah.
Adalah politikus dari fraksi PKS, bernama Fahmi Alaydrus yang mengajukan interupsi pada saat Rapat Paripurna pengambilan keputusan persetujuan calon Panglima TNI, Senin (8/11/2021) lalu.
Namun interupsi yang disampaikan berkali-kali saat ketua DPR RI Â membacakan keputusan Rapat Paripurna itu, sama sekali tidak dihiraukan oleh Puan Maharani. Sehingga keluarlah sindiran dari mulut politikus PKS tersebut, "Gimana mau jadi presiden..." ucapnya dengan lantang dan bernada kesal.
Insiden tersebut kemudian mengundang seorang Utut Adianto, ketua Fraksi PDI Perjuangan yang langsung menghampiri Fahmi dengan wajah berang. Sehingga tak lama kemudian Fahmi Alaydrus pun menyampaikan permintaan maaf, setelah sebelumnya berbincang dengan politikus PDIP.
Dengan munculnya insiden itu, paling tidak publik sudah mengetahui dengan jelas, ternyata watak dan sikap Puan Maharani tidak jauh dari dugaan selama ini. Sebagaimana yang dikatakan Lucius Karus, pimpinan Formappi, LSM yang getol mengkritisi kinerja dan kebijakan legislatif, tak kurang dan tidak lebih jika Puan Maharani memang seorang yang otoriter.
Sehingga rakyat pun tinggal melanjutkan, " Lha iya, bagaimana mau jadi presiden, baru jadi ketua DPR yang membawahi ratusan anggota saja sudah seperti itu..." ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H