Dari rangkaian awal sejak diberlakukannya ambang batas pencalonan presiden dan calon wakil presiden tadi, sudah seharusnya para politikus yang saat ini begitu lantang menuntut dihapuskannya presidential threshold itu, seperti halnya politikus partai Demokrat, sadar diri.
Bukankah diberlakukannya UU nomor 42 tahun 2008 merupakan inisiatif partai besutan SBY yang saat itu memiliki kursi paling banyak di parlemen, serta tujuan utamanya untuk mempertahankan hegemoni dinasti Cikeas?  Sementara PDI-Perjuangan, yang di Pemilu 2014 mendapatkan 109 kursi di DPR dengan Raihan suara nasional  sebesar 19,46 bisa jadi memiliki alasan, paling tidak melanjutkan estafet kebijakan partai Demokrat sebelumnya.
Tapi terlepas dari semua itu, dalam hal ini rakyat pun semakin faham. Bahwa tujuan semua partai politik adalah hanya satu, yakni kekuasaan. Kemudian apabila kekuasaan sudah berada dalam genggaman, mereka pun terus berusaha untuk mempertahankannya. Jangan sampai pihak lain merebutnya - tentu saja.
Jadi bila sudah berbicara sampai pada perkara aturan tentang pembagian kekuasaan, seperti yang saat ini ramai diperdebatkan, tampaknya tak lebih ibarat gerombolan hyena yang sedang berebut bangkai dengan burung nasar di padang rumput yang ada di benua Afrika saja laiknya.
Sehingga tak salah bila belakangan ini muncul sindiran, bahwa tidak selamanya dongeng di awali dengan kalimat: "Alkisah pada suatu hari..." Tapi diganti dengan, "Kalau saya terpilih nanti, Â saya berjanji akan..." Â merupakan titik awal tumbuhnya kesadaran jika selama ini rakyat hanya dijadikan tumbal kekuasaan belaka.
Kemudian rakyat pun angkat suara, "Salah sendiri. Kenapa dulu selagi berkuasa sangat tamak. Lupa dengan kodratnya kehidupan. Bahwa hidup ini fana adanya. Sebagaimana juga kekuasaan. Suatu saat akan jatuh juga. Tak ada yang langgeng, segalanya di dunia ini hanya sementara."Â ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H