Mohon tunggu...
Adjat R. Sudradjat
Adjat R. Sudradjat Mohon Tunggu... Penulis - Panggil saya Kang Adjat saja

Meskipun sudah tidak muda, tapi semangat untuk terus berkarya dan memberi manfaat masih menyala dalam diri seorang tua

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Adakah yang Salah Apabila Gibran dan Bobby Melanjutkan Dinasti Jokowi?

21 Juli 2020   13:01 Diperbarui: 21 Juli 2020   14:19 502
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden Jokowi dan keluarga (palu.tribunnews.com)

Keikutsertaan keluarga Presiden Jokowi dalam perhelatan Pilkada serentak Desember 2020 mendatang, belakangan ini menjadi topik yang ramai diperbincangkan.

Putra sulung Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, telah resmi mendapatkan rekomendasi dari DPP PDI-P sebagai calon Wali Kota Solo dari parpol berlogo kepala banteng dengan moncong putih tersebut.

Demikian juga dengan suami Kahiyang Ayu, Bobby Nasution, akan mencalonkan diri sebagai Wali Kota Medan, Sumatera Utara.

Hiruk-pikuk telunjuk banyak menuding ke arah hidung Presiden Jokowi, sebagai penguasa yang akan melanggengkan kekuasaannya di negeri ini dalam lingkaran keluarga sendiri, sebagaimana yang disebut sebagai politik dinasti.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) arti dari kata dinasti adalah keturunan raja-raja yang memerintah, semuanya berasal dari satu keluarga.

Mungkin kita pernah mendengar, atau membaca sejarah tempo doeloe di daratan Cina. Dalam setiap kurun waktu tertentu negara besar itu pernah dikuasai oleh dinasti Ming, di lain waktu lagi dikuasai oleh dinasti Han, dan seterusnya.

Demikian juga di jazirah Arabia. Pada zaman perkembangan agama Islam tempo doeloe, diriwayatkan  pernah dikuasai dinasti Muawiyah, lalu dinasti Abbasiyah. Bahkan sampai saat ini, di negara Saudi Arabia masih tetap berlaku sistem pemerintahan dinasti yang berasal dari keluarga pendiri kerajaan yang memiliki arti tersendiri bagi seluruh umat Islam itu, yaitu Raja Abdul Aziz bin Saud.

Begitupun di negeri ini, bahkan sampai saat ini, di daerah istimewa Yogyakarta, masih tetap berlaku sistem dinasti. Sejak dipimpin oleh Sultan Hamengku Buwono I, hingga sekarang ini kesultanan Yogyakarta Hadiningrat sudah dipimpin oleh keturunan yang kesepuluh.

Bahkan Sultan Hamengku Buwono X yang juga menjabat Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, sudah mempersiapkan putrinya untuk melanjutkan tongkat estafet kesultanan tersebut.

Pada umumnya sistem pemerintahan yang berdasarkan dinasti dapat ditemukan dalam suatu negara yang berbentuk monarki, kerajaan. Gelar pemimpin pemerintahannya pun biasa disebut Kaisar, Raja, dan kalau perempuan pastinya disebut Ratu.

Akan tetapi, dalam pemerintahan yang sudah menganut sistem demokrasi, yakni pemimpin negaranya yang biasa disebut Presiden, dan dipilih oleh seluruh rakyat di negara tersebut, ternyata dalam kurun waktu tertentu masih banyak ditemukan apabila kebetulan yang menjadi presiden itu adalah ayahnya sudah akan habis masa jabatannya, dan ketika kemudian dalam pemilihan presiden selanjutnya anak atau istri dari Presiden itu mencalonkan diri sebagai peserta Pilpres, maka tak sedikit orang menyebutnya kalau Presiden pendahulunya itu sedang berupaya membangun dinasti politik di negara tersebut.

Lalu apabila mayoritas rakyat di negara tersebut memiliki anggapan kalau pendahulunya, atau ayah/suaminya selama memimpin pemerintahannya berhasil memajukan negara tersebut, lalu kemudian anak/istrinya ikut mencalonkan diri, dan bahkan berhasil terpilih, dimanakah letak kesalahannya?

Memang benar, pada awalnya publik melihat nama besar pendahulunya sebagai tolak ukur  dari ketertarikan konstituen untuk menjatuhkan pilihannya di dalam proses pemilihan umum itu.

Akan tetapi apabila melihat lebih jauh lagi, di dalam upaya menaikkan perolehan elektabilitas parai politik saja selama ini selalu saja kita temukan setiap partai politik menggandeng artis, selebriti baik artis film,musik, maupun penyanyi yang memiliki popularitas yang tinggi - terlepas dari artis selebriti itu tidak faham dengan dunia politik sama sekali.

Demikian juga ketika anak Presiden pertama Bung Karno, yakni Megawati Soekarnoputri, menjadi Presiden ke-lima. Atau juga keluarga SBY, ketika itu kita pernah mendengar mendiang istrinya, Ibu Ani Yudhoyono pernah juga digadang-gadang untuk didaulat sebagai calon presiden selanjutnya.

Mungkin yang dianggap begitu kental dengan sistem monarki otoriter, adalah ketika penguasa rezim Orde Baru, Soeharto mengangkat putri sulungnya, Siti Hardiyanti Rukmana, menjadi menteri dalam jajaran kabinetnya ketika itu.

Selanjutnya kita pun melihat upaya SBY yang sepertinya sangat berambisi untuk membangun dinasti politik dalam keluarganya. Bagaimana partai Demokrat pun tak lepas dari cengkeraman tangannya. Anak sulungnya, Agus Harimurti Yudhoyono dijadikan sebagai ketua umum, demikian juga dengan anaknya yang kedua, Ibas, selain duduk sebagai  wakil ketua umum DPP partai berlogo mercy itu.

Sebelumnya SBY pun pernah mencoba anak sulungnya itu, AHY, untuk dicalonkan dalam Pilkada DKI Jakarta. Tapi terbukti elektabilitasnya jauh dari harapan. Suami dari Annisa Pohan itu berada diurutan paling buncit, kalah telak di putaran pertama.

Jadi biarkanlah rakyat yang akan memilihnya. Dan kalau memang ditakdirkan untuk meraih kemenangan, tapi kemudian ternyata kinerjanya jauh dari harapan, bahkan dianggap telah melanggar aturan perundang-undangan yang berlaku, maka pada akhirnya akan berhenti.

Apalagi tidak ada aturan perundang-undangan di negeri ini yang melarang seorang anak, atau keluarga mengikuti jejak ayah maupun pendahulunya menjadi pemimpin di negeri Republik Indonesia ini.

Syukur-syukur bila penerusnya itu akan mampu melebihi prestasi pendahulunya, atau paling tidak sejajar lah. Sementara jika malah sebaliknya, jauh dari yang diharapkan, apa susahnya tinggal disuruh turun. Melalui mekanisme aturan perundang-undangan yang berlaku, tentu saja.

Seiring dengan berjalannya waktu, kemudian paling tidak  rakyat pun akan semakin terbuka matanya. Mereka akan semakin faham, bahwa beda koki, akan berbeda juga rasa masakannya. 

Entah kena di lidah, entah malah bikin mual dan muntah. Entahlah.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun