Lalu apabila mayoritas rakyat di negara tersebut memiliki anggapan kalau pendahulunya, atau ayah/suaminya selama memimpin pemerintahannya berhasil memajukan negara tersebut, lalu kemudian anak/istrinya ikut mencalonkan diri, dan bahkan berhasil terpilih, dimanakah letak kesalahannya?
Memang benar, pada awalnya publik melihat nama besar pendahulunya sebagai tolak ukur  dari ketertarikan konstituen untuk menjatuhkan pilihannya di dalam proses pemilihan umum itu.
Akan tetapi apabila melihat lebih jauh lagi, di dalam upaya menaikkan perolehan elektabilitas parai politik saja selama ini selalu saja kita temukan setiap partai politik menggandeng artis, selebriti baik artis film,musik, maupun penyanyi yang memiliki popularitas yang tinggi - terlepas dari artis selebriti itu tidak faham dengan dunia politik sama sekali.
Demikian juga ketika anak Presiden pertama Bung Karno, yakni Megawati Soekarnoputri, menjadi Presiden ke-lima. Atau juga keluarga SBY, ketika itu kita pernah mendengar mendiang istrinya, Ibu Ani Yudhoyono pernah juga digadang-gadang untuk didaulat sebagai calon presiden selanjutnya.
Mungkin yang dianggap begitu kental dengan sistem monarki otoriter, adalah ketika penguasa rezim Orde Baru, Soeharto mengangkat putri sulungnya, Siti Hardiyanti Rukmana, menjadi menteri dalam jajaran kabinetnya ketika itu.
Selanjutnya kita pun melihat upaya SBY yang sepertinya sangat berambisi untuk membangun dinasti politik dalam keluarganya. Bagaimana partai Demokrat pun tak lepas dari cengkeraman tangannya. Anak sulungnya, Agus Harimurti Yudhoyono dijadikan sebagai ketua umum, demikian juga dengan anaknya yang kedua, Ibas, selain duduk sebagai  wakil ketua umum DPP partai berlogo mercy itu.
Sebelumnya SBY pun pernah mencoba anak sulungnya itu, AHY, untuk dicalonkan dalam Pilkada DKI Jakarta. Tapi terbukti elektabilitasnya jauh dari harapan. Suami dari Annisa Pohan itu berada diurutan paling buncit, kalah telak di putaran pertama.
Jadi biarkanlah rakyat yang akan memilihnya. Dan kalau memang ditakdirkan untuk meraih kemenangan, tapi kemudian ternyata kinerjanya jauh dari harapan, bahkan dianggap telah melanggar aturan perundang-undangan yang berlaku, maka pada akhirnya akan berhenti.
Apalagi tidak ada aturan perundang-undangan di negeri ini yang melarang seorang anak, atau keluarga mengikuti jejak ayah maupun pendahulunya menjadi pemimpin di negeri Republik Indonesia ini.
Syukur-syukur bila penerusnya itu akan mampu melebihi prestasi pendahulunya, atau paling tidak sejajar lah. Sementara jika malah sebaliknya, jauh dari yang diharapkan, apa susahnya tinggal disuruh turun. Melalui mekanisme aturan perundang-undangan yang berlaku, tentu saja.
Seiring dengan berjalannya waktu, kemudian paling tidak  rakyat pun akan semakin terbuka matanya. Mereka akan semakin faham, bahwa beda koki, akan berbeda juga rasa masakannya.Â