Benar memang. Sebagaimana dikatakan Menko Polhukam, Mahfud MD, lolosnya terpidana kasus cessie Bank Bali, Djoko Tjandra, dari pantauan aparat penegak hukum merupakan tamparan bagi pemerintah.
Hanya saja "kesaktian" taipan yang konon telah menjadi warganegara Papua Nugini ini dapat keluar-masuk Indonesia tanpa diketahui oleh para penegak hukum, baik kepolisian, kejaksaan agung, maupun kementerian hukum dan HAM, adalah suatu hal yang mustahil apabila tidak ada campur tangan "orang dalam".
Sudah bukan rahasia lagi apabila di tiga lembaga penegak hukum tersebut sejak lama sudah di dikenal dengan maraknya mafia hukum, yakni oknum polisi, jaksa, dan hakim yang memperjualbelikan hukum demi memperkaya dirinya sendiri, dan sudah tidak peduli lagi dengan pelanggaran hukum yang dilakukannya itu.
Demikian juga halnya dengan DPO yang satu ini bisa bebas melenggang keluar-masuk Indonesia, ditengarai karena telah memegang surat jalan yang diterbitkan oleh sebuah lembaga yang berwenang untuk membuat perizinan tersebut.
Hal itu terkuak setelah Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), menyerahkan foto surat jalan buron Korupsi Djoko Tjandra pada Komisi III (Hukum) DPR RI pada Selasa (14/7).Â
Surat jalan itu disinyalir dipakai oleh Djoko Tjandra untuk bergerak di Indonesia. Surat jalan yang diberikan Boyamin atas nama Joko Soegiarto Tjandra bernomor SJ/82/VI/2020/Rokorwas.
Walaupun Komisi III DPR dan pihak MAKI tidak menyebut secara jelas lembaga yang menerbitkan surat jalan bagi terpidana pengalihan hak tagih Bank Bali itu, namun publik pun mengetahuinya kalau Rokorwas, yakni kepanjangan dari Biro Koordinasi dan Pengawasan PPNS merupakan bagian dari Bareskrim Polri.
Dugaan itu semakin jelas ketika Kepala Badan Reserse Kriminal Markas Besar Polri Komisaris Jenderal Listyo Sigit Prabowo meminta Divisi Propam untuk menelusuri surat jalan untuk Djoko Tjandra.
Bahkan Kabareskim berjanji akan menindak tegas oknum yang mengeluarkan surat jalan tersebut.
Terlebih lagi setelah Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Mabes Polri Inspektur Jenderal Argo Yuwono, memberikan keterangan, bahwa saat ini Kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan PPNS, Brigjen Prasetyo Utomo, sedang diperiksa oleh Divisi Profesi dan Pengamanan. Dari pemeriksaan awal, Prasetyo mengaku menerbitkan surat jalan atas inisiatifnya sendiri.
Sehingga apabila terbukti melakukan pelanggaran terkait terbitnya surat jalan untuk Joko Tjandra yang sebelumnya bernama Djoko Tjandra, jenderal polisi bintang satu itu terancam dicopot dari jabatannya.
Hanya saja yang jadi pertanyaan, apakah sejauh itukah kewenangan seorang jenderal bintang satu, menerbitkan izin bagi seorang buronan kelas kakap, Â dan sama sekali tidak ada koordinasi dengan pihak atasannya?
Andaikan memang benar terbukti Prasetyo Utomo bekerja tanpa ada koordinasi sama sekali, alangkah gagah beraninya jenderal polisi bintang satu ini. Patut dicurigai yang bersangkutan ada 'main mata' dengan sang buronan Djoko Tjandra.
Tapi bila ada pengakuan lain, misalnya saja Prasetyo Utomo mendapat perintah dari 'seseorang' yang disegani oleh yang bersangkutan, maka suka maupun tidak suka, pihak Polri dituntut untuk mengusut tuntas perkara tersebut.
Sebab, bagaimanapun jangan sampai negara ini mendapat tamparan berulangkali dari satu orang buronan yang bernama Djoko Tjandra tersebut.
Terlebih lagi jika mengingat jargon, "Tidak pernah ada prajurit yang salah...Â
Walhasil, sudah seharusnya pimpinan Lembaga kepolisian pun ikut bertanggung jawab apabila Karokorwas itu terbukti bersalah.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H