Setelah Jokowi mengumbar emosinya, dan menggertak jajaran  menteri dalam Kabinet Indonesia Maju yang dipimpinnya akan di-reshuffle apabila tidak ada progres positif dalam kinerjanya, dan tidak memiliki sense of crisis dalam keadaan darurat akibat pandemi Covid-19 sekarang ini - tentu saja, beberapa menterinya pun memang tampak langsung bergerak.
Betul. Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo tak lama kemudian merilis kalung ecalyptus yang diklaim mampu menangkal virus Corona, tapi kemudian diralatnya.
Selain merilis kalung, politisi partai Nasdem itupun memamerkan program pencetakan sawah di Kalimantan yang diklaimnya akan menjadi lumbung pangan nasional. Sehingga membuat Presiden Jokowi sendiri datang ke lokasi untuk melihatnya.
Bahkan yang tak kalah menariknya adalah Menkumham, Yasonna Laoly, yang langsung mengekstradisi buronan pembobol Bank BNI, Maria Pauline Lumowa, dari Siberia.Â
Demikian juga dengan Menteri Kesehatan, Terawan Agus Putranto, tak kalah gesitnya dari dua menteri sejawatnya yang tadi disebutkan. Penyaluran anggaran kesehatan yang dialokasikan untuk penanganan pandemi Covid-19, buru-buru diselesaikannya.
Memperhatikan sikap para menteri dalam Kabinet Indonesia Maju sekarang ini, di satu sisi tak lebih seperti kakek-kakek yang kebakaran jenggot laiknya.
Sedangkan di sisi lain ibarat anak-anak yang bebal, dan pemalas yang disebut juga generasi Strawberry - merujuk sebuah tulisan seorang teman Kompasianer, Yusran Darmawan di blog pribadinya, yakni anak-anak yang rapuh jiwanya akibat terlalu dimanja oleh orang tua.Â
Betapa tidak, sepertinya kita melihat masih banyak para menteri yang, entah masih terlena menikmati kursi empuk Bapak Menteri yang semula tidak disangka-sangka, entah karena menganggap Presiden Jokowi hanyalah seorang petugas partai, sementara Bapak Menteri sendiri merasa lebih dekat dengan sosok yang telah memberikan mandatnya kepada Jokowi.
Mungkin juga para menteri yang dianggap Jokowi abai dan lalai itu terlalu percaya diri, lantaran merasa telah memiliki jasa saat Pilpres sebagai pendukung yang ikut menghantarkan Jokowi menduduki singgasana RI-1 untuk periode kedua kalinya.
Sehingga karena faktor-faktor tersebut juga, mereka berfikir bahwa suatu hal yang mustahil Jokowi akan bisa memecat dirinya begitu saja.
Apalagi jika melihat dari latar belakangnya Jokowi yang cenderung permisif, dan rasa toleran yang tinggi.
Fenomena sikap memandang remeh terhadap orang lain, termasuk kepada pimpinan sendiri yang dilihat mereka hanya dari cangkangnya saja, adalah suatu hal yang keliru. Barangkali mereka (para menteri itu) pun alpa akan peribahasa lama, dan menganggap kalau  air yang tenang di matanya tidak bisa menghanyutkan.
Tidak menutup kemungkinan pula jika para menteri yang kemarin "disemprot", dan "digertak" Presiden Jokowi, merasa bahwa rakyat Indonesia ini cuma para konstituennya yang bermental yesman, bahkan akan membelanya dengan membabi-buta, walau sudah tahu yang dibelanya itu dalam posisi yang salah sekalipun, karena sebelumnya mulut-mulut mereka telah dijejali (maaf) nasi bungkus misalnya.
Padahal sejatinya para menteri yang masih memiliki mental dan pandangan naif seperti itu, sudah seharusnya sadar diri. Sekarang ini bangsa Indonesia bukanlah bangsa yang masih hidup di masa kolonial tempo doeloe.Â
Berkat kemerdekaan 75 tahun yang lalu, dan seiring proses kemajuan zaman pula, bangsa ini telah mulai sadar, dan bisa membeda-bedakan antara mereka yang mengaku elit sejati, tapi dalam kenyataannya bermental priyayi kolonial, dengan elit sejati yang sungguh-sungguh  sesungguhnya, yakni mereka yang di dalam sikap maupun ucapannya berbanding lurus demi bangsa dan negaranya.
Jadi, paradigma dan niat para menteri yang kemarin mendapat teguran keras dari Presiden Jokowi, jangan beranggapan bahwa teguran itu hanya keluar dari mulut seorang Jokowi belaka, melainkan juga dari mulut-mulut rakyat Indonesia yang sudah merasa muak dengan tingkah laku, khususnya para menteri di jajaran kabinet Jokowi-Ma'ruf Amin, maupun mereka yang mengaku sebagai elit di negeri ini, namun sikap dan ucapannya selalu bertolak belakang dari yang diharapkan.
Sungguh. Dalam hal ini, barangkali kalimat: Tidak ada makan siang yang gratis, masih tetap berlaku, Bapak Menteri yang terhormat.
Kalian semua harus sadar dengan sumpah dan janji yang diucapkan di bawah kesaksian kitab suci saat dilantik. Karena sumpah dan janji itu adalah utang yang niscaya harus dibayar sekarang juga.
Ya, utang yang harus dibayar kepada 267 juta bangsa Indonesia ini, juga harus dipertanggungjawabkan kepada Tuhan.Â
Atau jangan-jangan Tuhan pun telah dipersetankan, atau sudah tidak dipedulikannya lagi. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H