Sebab apabila menyimak lika dan liku perjalanan kasus tersebut yang terjadi pada tahun 2000 hingga sekarang ini yang sudah 20 tahun lamanya, bisa jadi selain dianggap sebagai kasus korupsi yang begitu besar, juga melibatkan beberapa pejabat negara di dalamnya.
Bahkan dengan kemunculannya sekarang inipun, jelas di samping telah menimbulkan kegemparan, juga telah mengundang tanda tanya.Â
Kenapa seorang Djoko Tjandra ini begitu mudahnya datang dan pergi tanpa diketahui aparat penegak hukum sama sekali. Apakah taipan ini memiliki "aji halimunan", yakni ilmu Kanuragan yang tidak bisa terlihat secara kasat mata oleh orang lain?
Entahlah. Hanya saja yang jelas, masih menurut Jaksa Agung, bahwa selama berada di Indonesia, Djoko Tjandra sempat mengurus Kartu Tanda Penduduk (KTP) di Kelurahan Grogol Selatan, Jakarta Barat, dan sebelumnya dia pun mendatangi  Pengadilan Jakarta Selatan untuk mendaftarkan PK kasusnya.
Sehingga dalam hal ini, tudingan masyarakat bahwa buronan yang dijuluki "belut" lantaran kelicinannya itu, memiliki backing dari oknum pejabat yang memiliki pengaruh besar di negeri ini semakin menguat saja.
Terlebih lagi dengan pengakuan Jaksa Agung yang menyatakan adanya "kelemahan" di pihak kejaksaan agung sendiri sehingga harus kecolongan dalam menangani buronan kelas kakap yang satu ini.
Demikian juga halnya dengan pihak Kementerian Dalam Negeri, apabila benar diketahui membuat e-KTP di Kelurahan Grogol Selatan, Jakarta, Djoko Tjandra datang sendiri ke kelurahan bersama pengacaranya, artinya terdapat "kelemahan" juga di pihak Kemendagri.
Bukankah buronan kelas kakap itu sudah berpindah kewarganegaraan sejak kabur ke Papua Nugini juga?
Demikian juga halnya dengan pihak Kemenkumham, kenapa pihak Imigrasi sampai kecolongan juga, dan dengan gampangnya buronan kelas kakap itu bisa melenggang masuk kembali dengan begitu mudahnya.Â
Sebagaimana juga yang pernah terjadi sebelumnya atas buronan kader PDIP, Harun Masiku yang terlibat kasus suap komisioner KPU.
Oleh karena itu, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Hukum dan HAM, maupun Kejaksaan Agung, dituntut agar bertanggungjawab, dan melakukan "introspeksi" atas "kelemahan" yang terjadi di lembaga masing-masing.