Sebagaimana halnya dengan kasus serupa yang terjadi di sebuah perguruan tinggi tempo hari, dan cukup menghebohkan, bahkan hingga sekarang masih jadi perbincangan.
Tiga puluh perempuan alumni perguruan tinggi itu, catat: 30 orang perempuan, telah datang melaporkan kasus pelecehan seksual yang menimpa dirinya, dan yang dilakukan oleh senior mereka kepada pihak Lembaga Bantuan Hukum (LBH).
Akan tetapi IM, inisial nama yang disebut pihak pelapor sebagai pelaku tunggal kasus pelecehan seksual itu dengan lantangnya membantah pernyataan 30 orang perempuan itu.
Bahkan IM meminta  pembuktian tuduhan yang dianggapnya sebagai pencemaran nama baik, dan pembunuhan terhadap karakter dirinya itu, dengan bukti-bukti yang kuat, dan bisa dipertanggungjawabkan di mata hukum yang berlaku.
Itulah masalahnya.
Sehingga pihak DPR pun dituntut untuk mampu bekerja lebih keras lagi untuk memecahkan masalah sebagaimana yang disebutkan di atas tadi.Â
Bagaimanapun IM yang dianggap sebagai pelaku pelecehan seksual itu memiliki senjata pertahanan untuk mematahkan serangan terhadap dirinya.Â
30 orang perempuan yang mengaku telah menjadi korban pelecehan seksual itu dianggap tidak bisa menghadirkan bukti-bukti yang kuat.Â
Sebab dalam aksinya yang dilakukan oleh "pelaku" terhadap "korban" sama sekali tidak ada saksi, atau paling tidak sebuah rekaman digital serupa CCTV misalnya, atau juga melalui rekaman kamera ponsel - sebagaimana yang sekarang ini sudah dapat dijadikan sebagai salah satu alat pembuktian di depan hukum.Â
Oleh karena itu, wajar apabila pihak DPR RI menarik kembali RUU PKS tersebut dari Prolegnas 2020, lantaran mereka membutuhkan bahan yang harus dikaji, dan digali lebih dalam lagi.Â
Paling tidak, pihak DPR harus duduk bersama dengan banyak pihak yang berkompeten, baik dengan para pakar hukum pidana, maupun pakar hukum agama, dan juga mereka yang memahami hukum adat yang sudah berlaku di kalangan masyarakat dari berbagai penjuru daerah di Indonesia ini.Â