Ada apa dengan DPR RI yang terhormat ini. Tiba-tiba saja RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) yang dulu diajukannya, sekarang malah ditarik kembali. Sehingga hanya membuat teringat lagi pada syair sebuah lagu dangdut: Kau yang mulai kau yang mengakhiri...
Memang saat pertama kali muncul ke tengah publik, rancangan undang-undang tersebut sempat membuat heboh juga.Â
Perdebatan di antara mereka yang pro dan kontra, maupun mereka yang berdiri di tengah-tengah, tapi memiliki sense of humor yang tinggi, ikut meramaikan dengan joke yang mengundang tawa, namun lumayan menyentuh juga.
Bagaimana gigihnya ketika itu pihak yang tidak setuju mencoba untuk menggagalkan RUU tersebut. Sebut saja seorang aktivis perempuan, Maimon Herawati, yang juga pengajar Program Studi Jurnalistik Universitas Padjajaran, sampai mengecamnya melalui petisi yang begitu pedas sekali.
Dalam petisinya, aktivis perempuan tersebut menganggap poin-poin yang termaktub dalam RUU Â yang disebutnya sebagai RUU Pro Zina itu, beranggapan ada kekosongan soal pengaturan kejahatan seksual, yakni ihwal hubungan seksual yang melanggar norma susila dan agama.Â
Lebih jauh Maimon menjelaskan, bahwa dengan munculnya wacana payung hukum tersebut justru dianggapnya sebagai upaya yang akan melegalkan aborsi yang dilakukan secara suka rela, kemudian bahwa dengan diundangkannya RUU Pro Zina itu nantinya akan membuka kran kebebasan hubungan seksual, baik hetero maupun homo seksual asalkan atas dasar suka sama suka.
Sementara pihak yang setuju RUU PKS untuk disahkan menjadi undang-undang, beralasan bahwa Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual sejatinya merupakan sebuah instrumen hukum untuk menutup celah hukum dalam fenomena kejahatan seksual yang selama ini terjadi di Indonesia.Â
Berbagai instrumen hukum terkait seperti UU Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, UU Perlindungan Anak, UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga hingga KUHP tidak mampu untuk memihak kepada korban kekerasan secara seksual atau mendorong upaya pemulihan dan pencegahan korban.
Terlepas dari hiruk pikuknya antara pihak yang setuju dengan yang tidak setuju, pihak DPR RI sendiri sebagai inisiator RUU tersebut - sebagaimana halnya RUU HIP yang belakangan ini lumayan menghebohkan juga, kemungkinan besar telah menimbulkan kegamangan yang ibarat kata maju kena mundur pun kena juga.
Betapa tidak, di satu sisi DPR akan terbentur dengan hak asasi manusia (HAM) yang dianggap merupakan hak dasar bagi kehidupan setiap orang. Sementara di sisi lain, mereka pun harus berhadapan langsung dengan norma budaya dan agama yang sangat kuat melekat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia ini.
Bisa jadi juga yang membuat pihak DPR RI yang terhormat menarik kembali RUU PKS ini lantaran masih menemukan kesulitan dalam memecahkan masalah kekerasan seksual yang seringkali terjadi, namun dianggap belum memenuhi syarat sebagaimana yang termaktub dalam Kitab Undang-undang- Hukum Pidana (KUHP).