Setiap kali hendak menulis, selalu saja muncul banyak pertanyaan yang pada pokoknya berkelindan di seputar cara menulis yang the best, tentu saja. Seperti misalnya ketika hendak menulis untuk diposting di Kompasiana ini.Â
Diam-diam dalam hati muncul harapan, paling tidak tulisan yang kita posting bisa masuk dalam label Artikel Pilihan, atawa Terpopuler, meraih Nilai Tetinggi, Â dan syukur-syukur selain itu juga sampai dikasih label Artikel Utama, atawa yang disebut Headline (HL) oleh orang Amrik sana.
Bagi seorang calon penulis, penulis pemula, bahkan penulis profesional sekalipun, harapan seperti yang dikemukakan di atas merupakan suatu keniscayaan. Untuk apa repot-repot menulis yang  bertujuan untuk dipublikasikan, kalau tidak berharap tulisan kita itu mendapat sambutan dari khalayak pembaca?
Bohong besar kalau ada yang masih berkilah hanya sekedar menyalurkan panggilan hati, atawa paling tidak untuk mengeluarkan segala permasalahan yang memenuhi batok kepala. Kalau tokh tujuannya seperti itu, buat apa dipublikasikan. Sudah saja cukup ditulis di buku diary, atawa jurnal pribadi.
"Waduh, kok ekstrim sekali sih?" Begitu kira-kira pertanyaan yang pertama muncul dalam diri ketika membaca tulisan ini.
Terus terang, hal itu lantaran berangkat dari pengalaman penulis sendiri. Sejak usia berangkat remaja hingga sudah beranjak tua-bangka sekarang ini, permasalahan yang selalu ditemui ketika akan memulai menulis adalah serupa itulah.
Sungguh. Dalam diri ini selalu saja muncul rasa was-was, atawa ragu-ragu bercampur ketakutan manakala menghadapi kertas, dan tangan sudah memegang pena. Belakangan ini berubah saat menghadapi layar kompter, atawa laptop, maupun smartphone.
Betapa tidak, kalau tulisan itu ditolak redaksi karena dianggap tidak layak, atawa tegasnya jelek - tidak bermutu sama sekali. Paling tidak sekalipun sudah dipublikasikan sekalipun, seperti misalnya di Kompasiana ini, tidak ada yang melirik, dan dilewati begitu saja.Â
Bagaimana, dan dari mana saya harus memulai tulisan, merupakan momok yang sulit dienyahkan. Â Sama sekali saya tidak tahu harus memulainya. Belum lagi ketika ide muncul, tapi saat akan ditulis justru malah mengalami kebuntuan. Hilang sudah rasa percara diri yang - padahal sebelumnya, begitu memenuhi kepongahan diri. Iya, memanganggap bahwa Menulis Itu Gampang, seperti yang dikatakan Arswendo Atmowiloto di dalam bukunya.Â
Bahkan bukan sombong, sebelum membaca "Mengarang Itu Gampang", "Teknik Mengarang" yang ditulis Mochtar Lubis merupakan buku tuntunan menulis yang pertama kali saya temukan. Kemudian disusul dengan Seni Mengarang-nya Aoh K. Hadimadja. Seakan-akan ibarat kata sudah dianggap kitab suci laiknya yang setiap saat wajib dibaca.
Hingga selanjutnya saya pun membaca banyak buku-buku serupa, dan seabreg teori menulis yang ditemukan dari mesin pencari Google, baik yang ditulis langsung oleh mereka yang ditasbihkan sebagai pakar, maupun penulis yang kerjaannya sekedar copy paste belaka. Semua itu saya kunyah-mamah, dan terkadang ditelan mentah-mentah.
Akan tetapi dalam praktiknya, tetap saja begitu-begitu juga. Kesulitan demi kesulitan masih juga terasa menghadang. Cita-cita untuk menjadi seorang penulis buku best seller seperti Andrea Hirata, maupun Stephen King, atawa juga J.K. Rowling pun hanyalah angan-angan belaka. Entah kapan akan menjadi kenyataannya.
Kenyataannya memang seperti begitulah.Â
Namun belakangan ini saya menemukan keajaiban. Tiba-tiba saja saya kembali merasa mampu menulis saban hari. Terus menulis. Tanpa henti. Mengalir begitu saja, ibarat air dari tempat yang tinggi menuju ke tempat yang lebih rendah.
Ya, saya menulis mengikuti apa kata hati. Kemudian mengetiknya berdasarkan kata-kata yang membludak dari benak.
Hal itu saya lakukan setelah membaca berulangkali sebuah buku karya Natalie Goldberg, seorang motivator menulis dari negerinya Paman Sam, Amerika Serikat.
Di dalam buku yang berjudul "Alirkan Jati Dirimu, Esai-Esai Ringan untuk Meruntuhkan Tembok Kemalasan Menulis", Natalie Goldberg tidak mengajari bagaimana cara menulis dengan teori, maupun kiat yang baku. Baik yang ada kaitannya dengan format, gaya, maupun cara, atawa teknik tertentu.
Natalie lebih menekankan bahwa menulis merupakan medium untuk mengalirkan segala ide, gagasan yang berkelebat, atawa bahkan yang sudah membludak di dalam benak.
Tapi dalam hal itu, Natalie mengingatkan. Jangan sekali-kali bersikap jumawa. Menganggap "Mengarang Itu Gampang". Merasa diri begitu hebat, beda dengan orang lain yang ada di sekitarnya. Seakan-akan diri kita merupakan makhluk superior, yang memiliki standar tersendiri di di dunia kepenulisan.
Bagaimanapun sikap seperti itu, tulis Natalie, merupakan sebuah penjara yang akan mengekang bagi siapapun yang berniat akan menekuni dunia kepenulisan. Oleh karena itu singkirkanlah sikap tersebut.Â
Menulis haruslah dianggap sebagai suatu upaya untuk melepaskan segala sesuatu yang ada di dalam pikiran. Menulis adalah sebuah cara untuk berkisah, atawa menyampaikan sesuatu tanpa harus terpenjara oleh hasrat mendapatkan pujian, atawa juga ketakutan apabila orang yang membaca tulisan kita menganggap pamer kebodohan belaka.
Dengan demikian, kita sepertinya sudah tidak lagi butuh seabreg buku yang memberitahu bagaimana cara menulis itu. Sebab yang sangat, sangat harus digarisbawahi ketika akan menulis, tidak lain hanyalah keberanian, bagaimana kita melepaskan yang tersirat dalam benak tanpa harus dibebani oleh segala macam aturan menulis.
Sebagaimana yang saat ini saya rasakan. Setelah mengikuti anjuran Natalie Goldberg, bahwa keberanian untuk mengguriskan kata, dan kemudian kalimat yang pertama itulah yang harus memiliki kedudukan paling atas ketika akan menulis, memang jelas nyata adanya.Â
Setelah kata pertama kita tulis, ternyata kalimat, dan paragraf selanjutnya mengalir begitu saja tanpa diduga. Bahkan terkadang sampai sulit untuk membendungnya.
Sungguh. Bukan omong kosong. ***
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H