Mohon tunggu...
Adjat R. Sudradjat
Adjat R. Sudradjat Mohon Tunggu... Penulis - Panggil saya Kang Adjat saja

Meskipun sudah tidak muda, tapi semangat untuk terus berkarya dan memberi manfaat masih menyala dalam diri seorang tua

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

PPDB: Beda Zaman Beda Aturan

27 Juni 2020   11:39 Diperbarui: 27 Juni 2020   11:28 221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi suasana dalam kelas tempo doeloe (Sumber: Foto: citizenbali.com)

Sebagai generasi zaman old, saya menyaksikan kegaduhan penerimaan peserta didik baru (PPDB) sekarang ini, terus terang hanya bisa mengelus dada. 

Ikut prihatin dengan silang-sengkarutnya peraturan yang berlaku, tapi di sisi lain juga ada rasa bangga yang tak terhingga. 

Betapa tidak, animo untuk mendapatkan ilmu pengetahuan melalui jalur pendidikan formal di negeri ini ternyata sudah sedemikian besarnya. 

Lain halnya dengan yang pernah penulis alami sendiri di zaman peralihan dari Orde Lama ke Orde Baru. Tepatnya tahun 1966. Saat penulis masuk sekolah dasar.

Saat itu, di desa kami baru berdiri sebuah sekolah dasar yang menampung murid dari tiga kampung yang berada di wilayah desa kami, ditambah dengan murid dari kampung yang termasuk wilayah desa lain, tapi kebetulan berbatasan langsung dengan desa kami. 

Ada yang tak pernah terlupakan sampai sekarang ini, saat mendaptar masuk sekolah dengan diantar ibu, oleh kepala sekolah yang di kampung kami saat itu biasa dipanggil Bapak Mantri Guru, saya disuruh menaruh tangan kanan tepat di atas kepala. 

Kemudian oleh Bapak Mantri Guru diperhatikan dengan seksama, apakah jari tengah tangan kanan saya sudah menyentuh telinga sebelah kiri atau belum. 

Alhamdulillah, saat itu jari tengah tangan kanan saya tidak hanya menyentuh telinga sebelah kiri saja, tapi satu buku jari tengah tangan saya  itu hampir melewati telinga kiri saya. Saya pun langsung dinyatakan diterima sebagai peserta didik baru.

Konon cara menentukan diterima dan tidaknya peserta didik baru seperti yang pernah saya alami, telah berlaku sejak zaman kolonial tempo doeloe. 

Sekarang ini saya baru ngeh, atawa faham dengan cara-cara yang digunakan dalam penerimaan peserta didik baru (PPDB) - khususnya di sekolah dasar (SD) pada zaman itu.

Pihak sekolah tampaknya lebih mengutamakan faktor phisik daripada usia, psikis, atawa juga jarak antara lokasi sekolah dengan tempat tinggal calon peserta didik.

Hanya saja ketika itu saya sendiri termasuk anak yang bongsor dalam pertumbuhannya. Bahkan di antara teman-teman yang sebaya, saya menjadi yang paling jangkung di antara mereka.

Sehingga ketika itu ada seorang teman saya yang ditolak masuk sekolah lantaran jari tengah tangan kanannya tidak bisa menyentuh daun telinga sebelah kirinya. 

Betapa tidak ukuran tubuh teman saya yang satu itu walaupun usianya sebaya dengan saya, tapi memang termasuk yang paling pendek. Sehingga oleh bapak Mantri Guru dianjurkan untuk menunggu sampai tahun depannya lagi.

Demikian juga ketika menjelang tamat sekolah dasar, untuk mendapatkan surat tanda tamat belajar, selain ada ujian ahir bagi seluruh siswa kelas enam yang diselenggarakan di sekolah, juga ada ujian yang diselenggarakan di kota kecamatan. 

Saat itu, tahun 1971 dari SD di desa kami hanya ada empat orang siswa saja yang mengikuti ujian, yang mungkin kalau zaman sekarang dikenal dengan sebutan Ujian Nasional (UN), dan merupakan syarat untuk melanjutkan sekolah ke SMP, dan atau yang sederajat.

Sementara adanya seleksi PPDB yang pernah dialami, adalah saat masuk SMA di kota kabupaten. Hal itupun hanya berupa psikotes dan ujian pengetahuan yang pernah diserap sebelumnya di SMP saja.

Adapun yang mulai terasa adanya persaingan yang ketat, adalah saat mengikuti ujian masuk perguruan tinggi di ibukota provinsi. Hadeuh, benar-benar terasa sekali beratnya. 

Bahkan saat itu saya mulai mengenal adanya cara masuk perguruan tinggi negeri melalui "jalan belakang". Secara diam-diam banyak calo yang berkeliaran, menawarkan jasa untuk membantu agar dengan mudah dapat diterima. Asal dengan syarat bisa menyediakan sejumlah uang sebesar yang telah ditentukan, tentu saja.

Sampai sekarang saya masih ingat betul, salah seorang teman yang sejak kelas satu SMA termasuk anak yang memiliki otak di bawah rata-rata, malahan setiap ada ulangan, dan juga saat ujian ahir pun mendapat bantuan dari saya sepenuhnya setiap mengisi jawaban soalnya, sementara saya sendiri bukan sombong, tampil sebagai juara umum, tapi saat ujian masuk perguruan tinggi negeri tersebut, saya tidak diterima, sedangkan teman yang saya sebutkan tadi bisa melenggang masuk dengan begitu mudahnya.

Sungguh. Persoalannya karena teman yang satu itu memang selain anak seorang pejabat, juga di kota kami termasuk yang paling kaya juga. Terus terang, saya pun senang membantunya lantaran teman yang satu itu begitu royal, suka mentraktir, dan...

(Sssttt... Jangan gaduh. Selama di SMA dia adalah pacar yang begitu setia lho.)

Sehingga tidak menutup kemungkinan zaman sekarang ini pun, soal tetek-bengek aturan PPDB yang oleh sebagian besar masyarakat dianggap sungguh-sungguh menjadi beban yang berat, bisa jadi bagi segolongan orang yang berduit bukanlah lagi yang harus dipermasalahkan.

Indonesia gitu loh... ***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun