Betapa tidak. Apabila menganalisa sikap politik kelompok tersebut selama ini, mereka cenderung menanamkan sikap permusuhan terhadap pihak yang dianggap memiliki ideologi nasionalisme. Terlebih lagi dengan PDIP yang menang sekarang ini dianggap sedang berjaya.
Sehingga dengan munculnya wacana RUU HIP yang memang kontroversial itu, seakan-akan menjadi pembuka jalan untuk melakukan "penyerangan" secara langsung dan terbuka terhadap "musuh bebuyutan"-nya itu.
Hal itu begitu jelas terlihat dalam aksi unjuk rasa yang dilakukan pada Rabu (24/6/2020) kemarin. Selain menyuarakan penolakan, juga sampai diwarnai dengan pembakaran bendera partai berlogo kepala banteng dengan moncong putih tersebut.
Sikap berlebih-lebihan seperti itu, jelas di samping sebagai sikap yang menunjukkan permusuhan bak bocah yang memalukan, juga dianggap sebagai suatu sikap yang hendak memperkeruh suasana.Â
Apalagi kalau bukan bertujuan hendak menumbangkan rezim yang berkuasa, yang selama ini dianggap sebagai seteru abadinya.
Menghadapi "tantangan" seperti itu, secara spontan kader maupun simpatisan PDIP semula tampaknya ikut terpancing juga. Bahkan DPC PDIP Jakarta timur, langsung menghimpun massanya.
Suatu hal yang wajar memang. Sikap yang ditunjukkan pihak yang merasa terhina manakala simbol yang menjadi kebanggaannya diinjak dan dibakar secara membabi-buta, dianggap tantangan untuk terjadinya perang secara terbuka.
Hanya saja untunglah hal itu tidak sampai terjadi. Bisa jadi sikap kedewasaan PDIP yang lebih mengedepankan nalar yang waras lebih diutamakan. PDIP telah memilih cara yang benar dalam menghadapi penghinaan terhadap dirinya.
Secara pribadi saya pun angkat topi. Bagaimanapun hukum di negeri ini adalah panglima yang harus dijunjung tinggi. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H