Awal bulan Februari 2020 lalu, Kompasiana pernah mengangkat Topik Pilihan tentang Legalisasi Ganja. Hal itu berangkat dari hebohnya usulan anggota Komisi VI DPR RI dari fraksi PKS, Rafly, agar ganja menjadi komoditas ekspor lantaran prospeknya sangat bagus di pasar internasional.
Tak syak lagi, pro dan kontra pun langsung mencuat.Â
Adapun yang tidak setuju karena ganja termasuk jenis narkotika sebagaimana pasal 1 angka 1 dalam Undang-Undang nomor 35 tahun 2009, "adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat penurunkan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang ini."
Sedangkan yang setuju terhadap usulan politikus PKS dari daerah Aceh itu, selain memang memiliki  nilai ekspor yang cukup menjanjikan, juga hingga sekarang ini, ganja dianggap belum memiliki kepastian berbahaya atau tidak berbahaya sebagaimana jenis narkotika lainnya.Â
Hal itu lantaran pihak berwenang, dalam hal ini pihak Kementerian Kesehatan, belum pernah mengadakan penelitian yang serius secara ilmiah.
Karena itu pula, anggota komisi III DPR RI dari fraksi partai Demokrat, Hinca Pandjaitan, mendesak pemerintah, dalam hal ini  Kementerian Kesehatan, agar menyelenggarakan penelitian guna melihat penggunaan ganja lebih banyak mendapat manfaat positifnya atau negatifnya.
Hal itupun bisa menjadi referensi ke depannya untuk melihat apakah penggunaan ganja bisa diaplikasikan untuk medis atau tidak.
Hal ini disampaikannya, karena melihat belum adanya suatu penelitian yang dilakukan pemerintah sejak jaman Belanda.Â
Oleh karenanya, perdebatan yang timbul di permukaan oleh kalangan masyarakat dan penegak hukum terkait penggunaan ganja medis, kemudian bisa menemui titik temu jika Kemenkes sudah melakukan penelitian terkait.
Hinca juga menyampaikan, mantan Menkes di era Kepemimpinan Presiden Jokowi Periode pertama, Nila Moeloek, pada 2017 lalu pernah didorong untuk segera melakukan penelitian tentang ganja tersebut. Namun, Hinca mengatakan bahwa Menkes Nila saat itu menjelaskan, bahwa masih memprioritaskan penelitian lainnya, yang dirasa lebih banyak membawa manfaat ketimbang meneliti soal ganja untuk medis.
Hal itu memang membuktikan kalau pihak pemerintah dianggap tidak serius dalam menyikapi persoalan ganja yang sampai sekarang ini seringkali menimbulkan polemik di antara yang pro dengan yang kontra.
Tentunya kita masih ingat dengan kasus penggunaan ganja untuk kebutuhan pengobatan yang dilakukan oleh seorang warga di Kabupaten Sanggau, Kalimantan barat, bernama Fidelis  Ari Sudarwoto yang harus mendekam di penjara sejak pertengahan bulan Februari 2017 lantaran menanam ganja di halaman rumahnya.
Ganja itu diberikan ke istrinya, Yeni, yang didiagnosa mengidap Syringomyelia -penyakit di sumsum tulang belakang.
Saat masih mengonsumsi ganja, kondisi kesehatan Yeni membaik, tangan kiri yang lumpuh itu, jari-jarinya sudah mulai bisa digerakkan. Luka-luka sebesar kepalan tangan orang dewasa bisa menutup kembali.
Akan tetapi, Yeni meninggal dunia pada 25 Maret 2017, setelah Fidelis ditahan dan tak ada lagi yang memasok ganja untuknya.
Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN), Budi Waseso (ketika itu, penulis), menilai tindakan menanam ganja yang dilakukan Fidelis tidak bisa ditoleransi dan tidak ada pengampunan walau mengklaim ganja itu semata-mata untuk pengobatan istrinya.
Buwas, demikian Budi Waseso biasa disapa, menekankan bahwa klaim ganja bisa menyembuhkan penyakit masih harus dibuktikan.
Hal senada diutarakan Affan Priyambodo, dokter bedah saraf di RSCM Jakarta. Menurutnya, 'belum ada penelitian' bahwa ekstrak ganja dapat menyembuhkan penyakit syringomyelia.
Belajar dari kasus yang terjadi pada keluarga Fidelis yang harus dipidanakan, dan isterinya sampai meninggal dunia, memang sudah seharusnya pihak pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kesehatan, mengadakan penelitian yang sungguh-sungguh untuk membuktikan manfaat penggunaan ganja bagi kesehatan.
Disebabkan oleh belum dilakukannya penelitian itu pula, hingga sekarang masyarakat hanya bisa menyerap informasi terkait ganja untuk kebutuhan medis hanya dari luar negeri saja.
Bisa jadi karena itulah baik di pihak berwenang, pemerintah, maupun di masyarakat sendiri, informasi yang datangnya dari luar negeri masih dianggap simpang-siur.
Padahal informasi terkait penelitian manfaat penggunaan ganja untuk kebutuhan pengobatan yang telah dilakukan di luar negeri, konon ganja itu dapat menyembuhkan bebagai jenis penyakit.
Sebagaimana penelitian yang dilakukan Scripps Research Institute, ganja diketahui bisa memperlambat penyakit Alzheimer yang menyerang otak. Hasil ini juga telah diterbitkan dalam jurnal Molecular Pharmaceutics.
Adapun penelitian yang diterbitkan dalam jurnal Molecular Cancer Therapeutics menemukan bahwa zat cannabidiol yang terdapat dalam ganja bisa 'mematikan' gen bernama "Id-1" yang digunakan sel kanker untuk menyebar ke seluruh tubuh.
Sedangkan penelitian yang dilakukan di Virginia Commonwealth University, peneliti menemukan bahwa ganja bisa digunakan untuk menghentikan serangan epilepsi. Meski begitu, penelitian ini baru dilakukan pada hewan dan belum diujicobakan pada manusia.
Sehingga dengan memperhatikan dari tiga hasil penelitian tadi, kenapa tidak di Indonesia pun tidak mampu melakukannya.
Ataukah akan menunggu sampai harus terjadi banyak kasus sebagaimana yang telah dialami keluarga Fidelis, atau juga harus mengalami terjadinya pandemi Covid-19 terlebih dahulu, baru kemudian sibuk mencari obat penawarnya? ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H