Mohon tunggu...
Adjat R. Sudradjat
Adjat R. Sudradjat Mohon Tunggu... Penulis - Panggil saya Kang Adjat saja

Meskipun sudah tidak muda, tapi semangat untuk terus berkarya dan memberi manfaat masih menyala dalam diri seorang tua

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

JPU, Ada yang Sama antara Kasus Novel dan Udin

16 Juni 2020   12:11 Diperbarui: 16 Juni 2020   13:48 183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel Baswedan (Kompas.com/Tatang Guritno)

Mengikuti perkembangan kasus penyiraman air keras terhadap penyidik senior KPK, Novel Baswedan, sepertinya ibarat sedang membaca sebuah novel yang tebalnya ribuan lembar halamannya.

Selain itu dalam kisahnya pun penuh dengan drama, baik yang bersifat tragedi, horor, komedi, maupun intrik yang dikaitkan dengan politik, yang sungguh sayang bila dilewatkan begitu saja.

Betapa tidak, dari mulai terjadi "penganiayaan" yang terjadi seusai shalat Subuh, disambung dengan pencarian pelaku yang memakan waktu yang cukup lama, serta dianggap suatu misteri yang banyak menimbulkan berjuta asumsi dari berbagai persepsi, hingga menyodorkan yang disebut teori konspirasi; kemudian ketika pihak kepolisian merilis sudah ditangkapnya pelaku penyiraman air keras terhadap penyidik senior KPK itupun masih juga penuh dengan 'kejutan' yang juga dibumbui hiruk-pikuk beragam komentar, baik dari orang yang ditasbihkan, atau juga yang mendaku sendiri sebagai pakar, termasuk juga kaum awam yang dipublikasikan di media arusutama dan media sosial, semakin seru dan ramai saja rasanya novel, eh kasus yang menimpa Novel Baswedan tersebut.

Klimaks kedua yang juga cukup menggegerkan, hingga menjadi perhatian media internasional, adalah di saat memasuki persidangan. Manakala jaksa penuntut umum (JPU), menuntut kedua terdakwa agar dijatuhi vonis satu tahun kurungan penjara.

Sampai-sampai 'korban" sendiri, yakni penyidik senior KPK Novel Baswedan, selain meragukan keterlibatan kedua terdakwa, juga yang bersangkutan dengan geram mengungkapkan agar kedua orang itu dibebaskan saja dari dakwaannya. 

Bahkan yang lebih menarik lagi, dalam sebuah cuitan di Twitter, sebuah akun yang bernama Novel Baswedan (@nazaqistsha) yang berbunyi sebagai berikut:

 "Pak Presiden @jokowi, proses penegakan hukum  hingga tuntutan hukum 1 tahun  thd penyerang saya, apakah seperti itu penegakan hukum yang bapak bangun atau ini ada rekayasa/masalah dibalik  proses itu? Sebaiknya bapak merespon agar ini jelas..."

Screenshot Twitter cuitan Novel Baswedan (dokpri)
Screenshot Twitter cuitan Novel Baswedan (dokpri)
Terhadap cuitan tersebut banyak netizens yang menilai, selain cuitan tersebut adalah twitt-nya Novel sendiri, lantaran hingga tiga hari ini tidak ada bantahan, atau klarifikasi apapun dari yang bersangkutan, sehingga para netizen pun menyindirnya dengan ungkapan:"Jangan sampai di kemudian hari ada argumen 'akun saya di-hack'..."

Demikian juga dengan yang diungkapkan jaksa penuntut umum (JPU) kasus tersebut, dalam suatu wawancara dengan sebuah media online, mengakui bahwa dirinya memang mendapat tekanan. Kalau digambarkan, tekanan itu seperti tekanan yang dihadapi sebuah gelas saat ada buldozer mau melintas, dan ia pasti terinjak.

Adapun yang dimaksud tekanan oleh Ahmad Fatoni, adalah tekanan dari nuraninya sendiri, sebagai seorang penegak hukum - tentu saja.

"Ya dari kami sendiri. Apalagi kasus mas Novel ini, kan, mendapat perhatian publik internasional. Bayangkan, seorang pejuang antikorupsi tiba-tiba dianiaya. Sorotan publik ini sangat menekan kami," akunya.

Ihwal pihaknya menuntut hukuman yang dianggap ringan, Ahmad Fatoni menjelaskan, bahwa  dalam kasus penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan itu, kami meyakini bahwa Ronny Bugis dan Rahmad Kadir Mahulette sejatinya tidak bersalah. 

"Begini. Dalam hukum, saya dan tim saya masih meyakini adagium ‘lebih baik membebaskan seribu orang bersalah daripada menghukum satu orang tak bersalah’," ungkapnya.

Akan tetapi, dalam kasus inipun kedua terdakwa, menurut Ahmad Fatoni tidak sepenuhnya tidak bersalah.  

Dalam kasus penyiraman air keras memang dia tidak bersalah, dan Ahmad Fatoni meyakini bahwa Ronny Bugis dan Rahmad Kadir Mahulette  bukan pelakunya, tapi dia sudah berbohong dengan mengaku sebagai pelaku. 

"Nah, tuntutan setahun penjara ini adalah untuk menghukum mereka atas kebohongannya," tandasnya.

Hanya saja yang jadi pertanyaan, mengapa hal itu tidak disampaikan dalam persidangan, atau tidak dicantumkan di dalam tuntutannya.

Ahmad Fatoni berkilah bahwa pihaknya tidak ingin mempermalukan institusi kepolisian. Lebih jauh Ahmad Fatoni pun membandingkan antara kasus yang sedang ditangani sekarang ini dengan kasus di jaman rezim Orde Baru, yakni pembunuhan Udin, wartawan harian Berita Nasional. 

 "Kita bisa belajar dari kasus penganiayaan wartawan Bernas Yogya mas Udin almarhum. Saat itu ada yang dikorbankan yakni Iwik yang hanya tukang pasang spanduk di sebuah biro reklame. Meskipun Iwik sempat ditahan, toh akhirnya kebenaran juga tetap dibuka. Akhirnya ketahuan kalau itu melibatkan bupati Bantul almarhum Sri Roso Sudarmo," kilahnya.

Apabila menelaah antara cuitan atas nama Novel Baswedan di Twitter dengan pernyataan JPU, tampaknya keduanya sepakat, bahwa di balik kasus yang menghebohkan ini, institusi kepolisian dianggap sedang bermain di dua belah posisi yang satu dengan yang lainnya saling bertentangan. Kontradiktif.

Tapi yang tak kalah menariknya, dalam cuitan Novel Baswedan pun, bahwa cuitan tersebut mengarah kepada Presiden Jokowi. Dengan lugas dirinya (NB) meminta Jokowi agar memberikan respon terhadap kasus yang nenimpanya itu.

Betapa tidak, kalimat tersebut dapat diinterpretasikan suatu permintaan agar Presiden Jokowi mengintervensi kasus hukum yang sedang dihadapi oleh penyidik senior KPK itu.

Sehingga timbul pertanyaan, bukankah posisi Jokowi berada di ranah eksekutif, dan kasus hukum itu sendiri jelas-jelas merupakan ranah judikatif. Apakah maksud Novel Baswedan dengan cuitannya itu?

Padahal sebagai seorang penegak hukum, Novel sendiri sudah pasti mengetahui dengan adanya pemisahan kekuasaan dalam pengaturan kekuasaan negara yang menganut sistem demokrasi sebagaimana halnya Indonesia ini.

Itulah masalahnya. Karena itu pula ahirnya muncul dugaan kalau Novel Baswedan menuduh Presiden Jokowi telah melakukan intervensi terhadap institusi kejaksaan, dan dianggap sedang melindungi institusi kepolisian.

Oleh karena itu, agar drama dalam novel... Eh, kasus Novel Baswedan ini menjadi terang-benderang, dan tidak menimbulkan banyak asumsi, maupun persepsi yang semakin berkembang liar, sebaiknya  demi tegaknya hukum dan keadilan, perlu ada pengusutan terhadap jaksa yang menangani kasus ini. Paling tidak perlu dilakukan penyitaan terhadap semua alat komunikasi milik tim jaksa penuntut umum yang menangani kasus ini. Secara detil , lengkap, dan gamblang - tentu saja.

Demikian juga dengan Presiden Jokowi sendiri, bila dianggap perlu untuk diperiksa kalau memang memiliki keterlibatan, kenapa tidak? Sebab di dalam hukum, prinsip kesetaraan merupakan hal yang diagungkan. Dan Jokowi sendiri akan bersedia untuk memberikan penjelasannya

Dengan begitu, Novel Baswedan sendiri akan merasa puas, dan tidak ada keraguan lagi.. ***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun