Mohon tunggu...
Adjat R. Sudradjat
Adjat R. Sudradjat Mohon Tunggu... Penulis - Panggil saya Kang Adjat saja

Meskipun sudah tidak muda, tapi semangat untuk terus berkarya dan memberi manfaat masih menyala dalam diri seorang tua

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Dendam Raja Sunda yang Padam karena Gajah Mada Sudah Tak Berdaya

5 Juni 2020   13:34 Diperbarui: 5 Juni 2020   13:49 14156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagaimana dikisahkan sebelumnya dalam tulisan saya kemarin, yang berjudul Palagan Bubat, Mitos Larangan Perjodohan Suku Sunda dan Jawa, Pangeran Niskala Wastu Kencana, keturunan Raja Linggabuana, dan adik Puteri Dyah Ayu Pitaloka Citraresmi yang masih tersisa, pada saat terjadi palagan Bubat masih kecil, dan belum cukup usia.

Akan tetapi seiring dengan waktu, ternyata sampai menjelang diangkat sebagai raja Sunda-Galuh untuk menggantikan mendiang Ayahandanya, Pangeran Niskala Wastu Kencana, atawa juga disebut Pangeran Wangisutah,  masih memendam dendam terhadap Gajah Mada yang telah menumpas habis seluruh keluarganya.

Sebagaimana ditulis Drs Yoseph Iskandar dalam buku "Tanjeur na Juritan Jaya di Buana" yang diterbitkan oleh Pusat Studi Sunda, dikisahkan setelah tewasnya Raja Linggabuana beserta seluruh keluarganya di palagan Bubat, untuk sementara tampuk kepemimpinan kerajaan Sunda-Galuh dipegang oleh Prabu Bunisora Suradipati. Sambil menunggu Pangeran Niskala Wastu Kencana tumbuh dewasa.

Akan tetapi meskipun saat Pangeran Niskala Wastu Kencana sudah berumahtangga, dan sudah dikaruniai keturunan pun, kenyataannya sewaktu hendak didaulat sebagai Raja yang berkuasa di tatar kerajaan Sunda-Galuh sekalipun masih juga menampiknya.

"Gudawangna kanyeri ati, moal lita kitu bae satungtung Gajah Mada masih keneh hirup," (Sakitnya hati yang terluka, tak akan pernah sembuh selama Gajah Mada masih hidup), kata Pangeran Niskala Wastu Kencana dengan tegas ketika Prabu Bunisora Suradipati menanyakan alasan penolakan Sang putera mahkota diangkat sebagai raja.

Apa boleh buat. Prabu Bunisora Suradipati tak bisa berbuat apa-apa lagi. Ia tak mampu menghalangi Pangeran Niskala Wastu Kencana untuk menuntaskan dendam-kesumatnya terhadap Mahapatih kerajaan Majapahit, Gajah Mada.

Ditemani oleh seorang pengawal bernama Rakean Hujung, Pangeran Niskala Wastu Kencana pun memulai langkahnya menuju arah terbitnya matahari, hanya demi mengobati luka hatinya secara ksatria.

Sementara Prabu Bunisora Suradipati terpaksa harus berdusta kepada isteri Pangeran Niskala Wastu Kencana, bahwasanya suaminya sedang melakukan tapa-brata.

Perjalanan dengan menunggang kuda dari tatar Sunda menuju kerajaan Majapahit yang sekarang ini termasuk wilayah provinsi Jawa timur,tentunya akan memakan waktu yang cukup lama. Sehingga selama dalam perjalanan pun banyak hal yang di alami dan ditemui oleh putra mahkota kerajaan Sunda-Galuh itu.

Dalam waktu dua minggu saja, perjalanan Wastu Kencana baruh tiba di hulu sungai Cipamali, atawa kali Pemali, yakni sebuah sungai yang mengalir dari daerah Purwokerto ke arah pantai utara di daerah Brebes.

Demi keamanan juga, Pangeran Niskala Wastu Kencana dan pengawalnya selama dalam perjalanan, keduanya sengaja menyamar sebagai kelana. 

Sebagaimana keduanya hendak beristirahat di pertapaan Agrajati, tempat Resi Jalasuta, Pangeran Niskala Wastu Kencana mengaku dirinya sebagai kelana, bernama Rakean Angga yang berasal dari Binayapanti Jampang.

Hanya saja dalam percakapan selanjutnya, setelah Pangeran Wangisutah mengetahui pertapaan Agrajati yang terletak di hulu sungai Cipamali itu masih termasuk wilayah kekuasaan kerajaan Sunda-Galuh, dan penduduknya, termasuk Resi Jalasutah pun mengaku sebagai rakyat kerajaan di tatar Sunda itu, Pangeran Wangisutah ahirnya membuka penyamarannya. Bahkan ia sempat memberikan hadiah kepada Resi Jalasutah berupa satu kantung uang kepeng mas untuk membangun pertapaan Agrajati.

Setelah cukup beristirahat, ksatria kerajaan Sunda-Galuh itu kembali melanjutkan perjalanan. Kepada setiap orang yang bertemu dalam perjalanan, Pangeran Wangisutah yang menyamar sebagai kelana, selalu saja memberikan jawaban bahwa dirinya hendak mencari ilmu ke pertapaan di gunung Dieng.

Karena menurut perkiraannya, bila sudah mencapai gunung Dieng, maka arah untuk menuju ke wilayah kerajaan Majapahit sudah tidak jauh lagi.

Akan tetapi sebelum tiba di gunung Dieng, Pangeran Wangisutah, alias Pangeran Niskala Wastu Kencana, terlibat dalam pertarungan dengan kelompok perampok yang sedang melakukan perampokan di suatu desa. 

Berkat kesaktiannya, perampok yang berjumlah puluhan orang dapat ditaklukkannya, dan pemimpinnya pun diserahkan kepada kepala desa setempat. Dan sebelum pasukan keamanan kerajaan Majapahit tiba di desa tersebut, Pangeran Wangisutah segera bergegas pergi. Supaya tidak ketahuan, tentu saja.

Setibanya di gunung Dieng, kedua kelana yang menyamar itupun memohon diri kepada Pendeta penunggu candi Semar, candi Harjuna, dan candi lainnya untuk melakukan ibadat, sekaligus berguru ilmu di pertapaan Budha tersebut.

Setelah merasa cukup berguru di pertapaan gunung Dieng, Pangeran Wangisutah bersama Rakean Hujung, pengawalnya yang setia, kemudian melanjutkan perjalanan menuju kota Daha, yang merupakan bagian dari pusat kota negara Kediri.

Di Daha ksatria kerajaan Sunda-Galuh itupun sempat berguru cara membuat senjata kepada seorang Mpu yang biasa membuat senjata untuk pasukan armada perang kerajaan Majapahit.

Sesungguhnyalah, tujuan daripada Pangeran Niskala Wastu Kencana menjadi catrik di tempat Mpu pembuat persenjataan pasukan Majapahit tersebut, tak lain adalah merupakan suatu taktik untuk bisa meloloskan diri masuk ke istana kerajaan Majapahit tanpa dicurigai, dengan menyamar sebagai murid Mpu tersebut.

Benar saja, ksatria kerajaan Sunda-Galuh tersebut dengan mulusnya dapat melenggang masuk ke area istana Majapahit tanpa dicurigai sedikitpun. Bahkan pada ahirnya kesempatan untuk bertemu dengan musuhnya pun, yakni Mahapatih Gajah Mada dapat terlaksana.

Hanya saja, dendam-kesumat yang membara sekian lama, ahirnya padam juga seketika saat Pangeran Niskala Wastu Kencana menyaksikan Gajah Mada yang usianya sudah semakin tua, dan sedang menderita sakit yang sudah begitu parah pula.

Bagaimanapun jiwa ksatria yang telah membentuk wataknya, membuat Pangeran Wangisutah berubah menjadi iba. 

Demikian juga membunuh musuh yang sudah tak berdaya merupakan pantangan bagi seorang yang berjiwa ksatria. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun