Hanya dalam hati saya menduga, kota Tasikmalaya sedang dilanda chaos, bila melihat pergerakan massa yang begitu banyak tanpa ada kendali lagi dari aparat keamanan.
Sementara itu, keingintahuan saya terhadap sebab-musabab terjadinya kerusuhan itu, akhirnya terkalahkan oleh kekhawatiran akan keselamatan anak, dan waktu yang beranjak sore. Saya takut tidak dapat pulang, lantaran saat itu saya melihat angkutan umum yang biasa mengangkut penumpang dengan tujuan ke kampung kami hanya tinggal satu-satunya lagi! Itupun sudah penuh sesak oleh penumpang.
Untuk menuntaskan rasa penasaran, dan mencari jawaban atas pertanyaan yang sejak tadi memenuhi kepala, ternyata akhirnya diperoleh dengan begitu mudahnya.
 Melalui percakapan dengan sesama penumpang yang duduk saling berdesakan, dan berhadapan itu, mengalirlah informasi terkait hal tersebut. Walaupun sebenarnya apabila dicerna lebih jauh lagi, sejatinya percakapan itupun baru sebatas "katanya", itupun masih bersumber dari "katanya" juga.Â
"Seorang polisi telah membunuh seorang kiai," kata orang yang duduk di samping sebelah kiri.
"Bukan. Bukan kiai. Tapi cuma santri. Itupun bukan dibunuh, tapi hanya disiksa saja," orang yang duduk di depan membantahnya.
"Lalu apa penyebabnya polisi sampai berbuat seperti itu?" tanya saya. Tak ada seorangpun yang bisa menjelaskan secara pasti dan akurat. Semuanya hampir sama, hanya direka menurut versinya belaka.
Oleh karena itu, naluri sebagai kuli tinta, membuat saya tak sabar lagi untuk dapat segera mendapat informasi yang akurat. Hanya saja karena berbeda dengan sekarang, yang sudah serba digital, saat itu perlengkapan hanya kamera konvensional dengan film celuloid yang digulung, tape recorder, dan buku notes kecil yang selalu diselipkan di kantong celana. Tapi ketika itu tidak saya bawa, kecuali buku notes itu saja. Hanya saja itupun tak berfungsi sebagaimana biasanya, dalam keadaan duduk berdesak-desakan, sambil memangku anak lagi. Lagi pula tujuannya ke kota pun hanya akan belanja pompa air saja.Â
Yang jelas, membuat saya ingin segera tiba di rumah. Mengamankan si sulung, dan seluruh keluarga, begitu rencananya. Baru kemudian bergerak keluar rumah lagi. Untuk mencari informasi, tentu saja.
Di tengah perjalanan, ada kerumunan massa yang melakukan sweeping terhadap kendaraan pribadi. Sehingga perjalanan kendaraan yang kami tumpangi ikut terhenti juga.Â
Kami menyaksikan setiap kendaraan yang ditumpangi warga keturunan Tionghoa dihentikan, lalu penumpangnya disuruh turun, dan... Mereka disiksa dengan beringasnya oleh massa.