Kerusuhan yang dipicu oleh penyiksaan polisi terhadap warga sipil di Amerika Serikat baru-baru ini, mengingatkan penulis dengan peristiwa serupa yang terjadi di Tasikmalaya, Jawa barat, sekitar 24 tahun silam. Tepatnya Kamis, 26 Desember 1996.
Kebetulan pada hari dan tanggal tersebut, saya bersama anak kami yang saat itu masih berusia 11 tahun, sedang berada di pusat kota Tasikmalaya. Maksudnya hendak belanja pompa air, lantaran yang selama ini kami miliki sudah rusak, dan minta untuk diganti.
Akan tetapi baru saja turun dari angkot, saya melihat banyak kerumunan massa yang begitu banyak, dan kebanyakan dari mereka mengenakan pakaian ala santri. Ada yang berpeci hitam, dan putih, di lehernya mengenakan sorban, berbaju Koko, atawa juga Khamis, serta berkain sarung, maupun bercelana cingkrang.
Dari mulai jalan dokter Soekardjo, masjid agung, hingga sepanjang jalan Haji Zainal Mustofa dan sekitarnya, penuh dengan kerumunan massa yang menggemakan takbir, dan diselingi teriakan yang menghujat aparat kepolisian.
Dalam hati saya bertanya-tanya. Ada apa gerangan yang sedang terjadi? Sementara itu saya pun langsung merasa khawatir akan keselamatan anak saya yang tampaknya begitu besar keingintahuannya dengan apa yang disaksikan di depan matanya saat itu.
Sambil menuntun erat tangan si sulung, saya mencoba menghampiri kerumunan masa di dekat gedung bioskop yang berada di seberang sebelah Utara masjid agung.
Kepada seorang yang tampaknya hampir sebaya dengan saya, dan setelah sebelumnya mengucap salam, saya tanyakan tentang keadaan yang terjadi.
"Ada santri yang disiksa polisi," sahutnya dengan nada geram penuh kemarahan.
Secara spontan saya mengucap Istighfar. Tapi ketika akan menanyakan sebab-musababnya, teman bicara saya itu sudah beranjak menuju ke arah jalan Hazet (Haji Zainal Mustofa) bersama massa seraya mengucap takbir.Â
Sepeninggal mereka, saya masih sempat menyaksikan beberapa tiang rambu-rambu lalulintas di dekat saya begitu mudahnya dipatahkan hanya oleh kedua belah tangan seorang di antara kerumunan massa itu.
Saya berulang kali mengucap Istighfar seraya menggeleng-gelengkan kepala. Terlebih lagi saat melihat di seberang sana massa bergerak riuh-rendah sambil menggedor-gedor setiap toko di sepanjang pusat kota Tasikmalaya itu.