Keputusan Presiden Joko Widodo memilih opsi untuk "berdamai" dengan pandemi Covid-19, dan kemudian dipertanyakan oleh Jusuf Kalla, mantan wakilnya sendiri pada periode pemerintahannya yang pertama, merupakan salah satu bukti bahwa kehidupan new normal yang direncanakan untuk segera diberlakukan, diprediksi bakal menemui banyak ganjalan.
Orang selevel JK saja yang pernah duduk berdampingan bersama Jokowi, tak ubahnya seorang oposisi saat ini, dan yang pernah diungkapkannya terkait wacana Jokowi untuk berdamai pun dibantahnya secara vulgar, dan agar dapat ditafsirkan secara terbuka oleh publik bahwa dirinya sekarang ini sudah "berseberangan" dengan Presiden Jokowi.
Selain itu, pernyataannya itupun bisa ditafsirkan sebagai ajakan kepada masyarakat agar jangan mematuhi ajakan pemerintah, dan bahkan justru menghimbau rakyat agar melakukan penolakan.
Mengapa sampai sejauh itu tafsiran publik terhadap pernyataan seorang JK yang notabene disebut salah seorang negarawan, plus salah satu tokoh bangsa ini?
Itulah masalahnya.Â
Bagaimanapun pernyataan JK di depan media, merupakan suatu sikap yang tidak elok bagi mereka yang menyandang sebutan negarawan dan tokoh bangsa. Terlebih lagi JK pun dianggap telah makan asam-garam dalam pemerintahan, dan pernah duduk berdampingan selama lima tahun bersama Jokowi.
Paling tidak seorang JK faham dengan etika, baik sebagai bangsa yang menjunjung tinggi nilai-nilai ketimuran, maupun etika kenegarawanan. Atau jangan-jangan memang benar dengan dugaan publik, seorang JK masih kemaruk dengan kekuasaan?
Demikian juga dengan kasus seorang Bintara Polri di kabupaten Bandung yang kemarin sempat viral. Tindakan anggota Polri tersebut pun merupakan bukti lainnya apabila pelaksanaan kehidupan new normal akan mendapat banyak ganjalan.
Seorang anggota polisi, yang mana lembaga tempatnya mengabdi akan dilibatkan untuk mengamankan pelaksanaan kehidupan normal yang baru bangsa ini, ternyata malah memberikan contoh buruk kepada khalayak. Â
Hal yang sama dilakukan seorang Habib Umar Assegaf, seorang tokoh agama di Jawa Timur. Bila mencermati video yang beredar di media sosial, publik pun merasa prihatin. Betapa naif seorang kiai yang menjadi panutan masyarakat banyak masih juga bertindak sekehendak hati sendiri, dan tidak patuh terhadap aturan sama sekali.
Tiga contoh di atas tadi menjadi preseden buruk, apabila bangsa +62 masih rendah rasa kesadaran terhadap kehidupan berbangsa dan bernegaranya. Pun egonya masih sedemikan tinggi. Tidak rakyat di akar rumput saja, mereka yang sejatinya memberikan suri tauladan pun, baik seorang negarawan, tokoh agama, maupun aparat penegak hukum memberikan contoh yang sama sekali tidak terpuji.