Untuk mendapat kejelasan, lagi-lagi saya harus mengobrak-abrik arsip.
Ya, selama ini masih banyak orang menganggap passion identik dengan hobi. Padahal nyatanya ada perbedaan di antara keduanya.
Kata Passion,  menurut definisi dalam kamus Merriam Webster, adalah "A strong liking or desire for or devotion to some activity, object, or concept." Dan dapat dijelaskan sebagai "Suatu rasa suka atau kegemaran dalam kadar yang kuat, mengenai suatu kegiatan, obyek, atau konsep."
Sementara hobby, menurut kamus Merriam Webster pula, adalah "A pursuit outside one's regular occupation engaged in especially for relaxation" atau "Suatu bentuk pencarian terhadap aspek di luar kegiatan rutin seseorang, khususnya yang melibatkan tercapainya relaksasi".
Nah, di sini kita bisa melihat kesamaan antara passion dan hobby, yakni keduanya bisa menjadi faktor pemicu seseorang dalam bekerja atau berkarier.Â
Perbedaannya terletak pada aspek motivasi awal. Passion yang timbul  dari gairah yang menyala-nyala bisa mengarahkan seseorang pada kegiatan produktif. Sementara hobby cenderung bisa mengarahkan pada tindakan konsumtif, memanfaatkan waktu luang, agar seseorang bisa lebih rileks.
Terus terang, bagi saya sebetulnya menulis itu sudah bukan hobi lagi. Â Lantaran sejak usia 20-an saya sudah hidup dari menulis.Â
Hanya saja seusai resign dari pekerjaan, di tahun 2012 lalu, passion saya pun jadi timbul-tenggelam. Bahkan tak jarang saya "tenggelam" dalam rentang waktu yang lama. Sehingga efeknya pun begitu jelas kentara. Tulisan saya hasilnya begitu-begitu saja.Â
Oleh karena itu juga, saat mengikuti event Ramadhan kemarin, saya pun tiga kali mengikuti event Blogshop A to Z Kompasiana. Untuk mengingat dan menambah kembali berbagai jurus penulisan di blog, tentunya.
Dari"dipaksa" harus kembali menulis saban hari, ditambah ilmu "tenaga dalam" baru yang diberikan para pengelola Kompasiana juga, akhirnya tanpa disadari passion menulis saya tiba-tiba datang kembali.
Semoga saja kehadirannya bukan untuk menghilang lagi. Tapi tetap bersemayam selamanya pada diri ini. Paling tidak agar quote yang pernah dikatakan mendiang Mahbub Djunaidi, yang "ingin terus menulis sampai tak mampu lagi menulis", dapat saya ikuti jejaknya. ***