Salah satu momen saat lebaran yang tak pernah terlewatkan, adalah bersalam-salaman, atau berjabat tangan dengan setiap orang. Tak perduli dengan yang kita  kenal, atau orang asing yang kebetulan berpapasan di jalan.
Adapun tujuan dari bersalam-salaman, atau di kalangan pesantren lebih dikenal dengan istilah mushaafahah, adalah membersihkan diri dari segala dosa dan kesalahan.
Bukankah kata ustaz juga momen Iedul Fitri itu sendiri merupakan kembali pada kesucian yang hakiki.
Sedangkan bersalam-salaman pun gesturnya bermacam-macam.Â
Misalnya saja apabila bermaaf-maafan dengan sesama, atau teman, biasanya cukup saling mengulurkan sebelah tangan.Â
Tapi akan lain lagi bila kita bersalam-salaman dengan orang yang lebih tua, sudah selayaknya mengukurkan kedua belah tangan, dibarengi dengan gestur tubuh membungkuk. Sebagai sikap menghormati, tentu saja.
Terlebih lagi terhadap orang tua, dan guru. Sudah lazim dilakukan dengan sambil mencium punggung telapak tangan yang bersangkutan.
Bahkan ada juga seorang anak yang bermaaf-maafan kepada kedua orang tuanya dengan cara bersimpuh di lantai, sementara kedua orang tuanya duduk  berada di posisi lebih tinggi, dan biasanya di atas kursi.Â
Seraya memohon maaf, anaknya mencium tangan orang tuanya, dan tangan orang tuanya yang sebelah lagi memeluk anaknya itu.
Cara seperti itu biasanya masih berlaku pada budaya Jawa.
Tapi ada satu cara bersalam-salaman seseorang pada suatu saat lebaran, yang pernah saya temukan, dan hingga sekarang selalu dikenang.
Kalau tidak salah, peristiwa itu terjadi saat saya masih duduk di bangku SD kelas dua. Saat usia saya tujuh tahun. Lantaran ketika masuk sekolah, saat itu usia saya pas enam tahun.
Ketika itu setiap hari raya Iedul Fitri rumah kami selalu mendapat kunjungan banyak tamu. Terutama warga seluruh desa yang datang berduyun-duyun.
Karena ayah saya adalah Kepala Desa. Bisa jadi kalau sekarang disebut "open house".
Sebagai anak-satunya, saya pun selalu dibawa menyambut tetamu. Berdiri di antara ayah dan ibu.
Walaupun sangat membosankan, sekaligus melelahkan, lantaran harus berdiri lama sambil mengulurkan tangan, tapi saya pun dibuat sukacita juga.
Sebab banyak di antara para tamu yang memasukan lembaran uang ke kantong baju saya. Dan artinya uang jajan pun akan bertambah pula.
Di saat kelelahan itu juga, tetiba mata saya yang semula sudah terkantuk-kantuk, kembali nyalang terbuka.
Pasalnya tiada lain saat ada seorang warga, pria dewasa yang mungkin seusia ayah saya, saat bersalaman dengan ibu saya, gestur tubuhnya lain daripada yang lain.
Sungguh. Bukan saya saja yang merasa aneh melihatnya. Bisa jadi orang lainpun raut mukanya tidak ada bedanya dengan saya.Â
Tapi tak sedikit pula di antaranya ada yang terlihat tertawa saat menyaksikan kejadian itu.
Betapa tidak. Disaat mengulurkan kedua tangannya, sambil membungkukkan tubuh, dan bersalaman dengan ibu, pantat orang itupun ikut bergerak-gerak maju mundur berulang-ulang.
Sebagai seorang anak, saat itu saya mencolek ibu, dan nyeletuk, "Bersalamannya seperti mau joget saja, ya bu?" dengan suara yang mungkin saja di dengar semua orang.
Sebab seusai saya bicara, hampir semua orang tertawa. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H