Ibadah puasa Ramadan tinggal beberapa hari lagi. Kemungkinan akan jatuh pada hari Jumat (24/4/2020) yang akan datang. Baik menurut versi Nahdatul 'Ulama (NU), maupun Muhammadiyah.Â
Akan tetapi sampai hari ini undangan untuk acara munggahan, yang belakangan ini biasanya diterima lewat grup WA dari keluarga besar atawa dari teman-teman belum juga diterima.
Saya pikir, bisa jadi acara munggahan kali ini tidak bisa dilakukan sebagaimana biasanya lagi. Apa boleh buat. Pandemi virus Corona, atawa Coronavirus disease 2019 (Covid-19) telah membuat segala kegiatan yang melibatkan banyak orang memang tidak lagi bisa dilakukan.Â
Padahal bagi kami, urang Sunda, dan yang menganut agama Islam tentunya, acara munggahan adalah suatu kegiatan yang sudah menjadi tradisi di saat menyambut tibanya bulan suci Ramadan.
Munggahan, dalam bahasa Sunda adalah kata kerja dengan kata dasar unggah, yang artinya adalah naik, bergerak ke atas. atau ke tempat yang lebih tinggi.Â
Maka dalam hal ini, munggahan dapat diartikan sebagai kegiatan umat Islam yang akan melangkah naik menuju kesucian bulan Ramadan yang derajatnya dianggap lebih tinggi dari bulan-bulan yang lainnya dalam perhitungan tahun Hijriyah.
Adapun kegiatan munggahan yang biasa dilaksanakan adalah berziarah ke makam keluarga (orang tua, kakek, nenek, dan leluhur). Kemudian dilanjutkan dengan saling berkunjung ke rumah kerabat dan handai taulan.
Terutama ke rumah saudara yang lebih tua. Untuk saling bermaaf-maafan. Tak lupa juga saat berkunjung akan saling berkirim makanan yang biasa disebut sedekah Rewah (Sya'ban).
Di antara rangkaian kegiatan Munggahan yang lebih menarik lagi, adalah botram, alias makan bersama keluarga, atawa juga teman-teman komunitas maupun rekan satu kantor (bagi yang masih bekerja, tentu saja).Â
Belakangan acara botram itu akan lebih seru lagi jika dilaksanakan di tempat wisata alam, dengan membawa bahan makanan, baik nasi dan lauk pauknya yang akan dimasak di lokasi. Ngaliwet, namanya. Iya bikin nasi liwet.
Dengan kambing guling, atawa paling sederhana ayam, atawa ikan  bakar. Dibarengi canda dan tawa, lantaran akan menuju suasana bulan yang penuh rahmat dan ampunan Allah.
Kegiatan munggahan serupa itu dilaksanankan sejak satu minggu hingga H-2, sebelum jelang hari pertama ibadah puasa.Â
Nah, jika menjelang H-1, maka akan ramai-ramai melakukan kuramas, yaitu mandi dengan memersihkan sekujur tubuh, dari kepala hingga telapak kaki, dengan niat bersuci lantaran akan menunaikan ibadah puasa di bulan Ramadhan.
Bisa jadi sekarang ini kegiatan yang satu ini memang tidak ada seorang pun yang akan melaksanakannya. Selain karena mengikuti anjuran pemerintah untuk melaksanakan #dirumahaja, dan harus tetap melakukan physical distancing, alias menghindari keramaian orang banyak.
Juga makanan yang biasa disediakan pun tak mungkin lagi dapat dibeli, sekalipun biasanya patungan juga. Toh dalam situasi serba sulit ini sudah saatnya untuk pandai-pandai berhemat. Â
Apa boleh buat. Mungkin munggahan sekarang ini hanya dapat dilaksanakan di rumah masing-masing saja. Bersama istri dan anak-anak saja. Itu pun dengan makan seadanya saja.Â
Walaupun begitu, sepertinya tidak perlu untuk disesali lagi. Apalagi ditangisi. Melaksanakan tradisi munggahan #dirumahaja, sebaiknya diambil hikmahnya saja. Paling tidak dalam situasi yang penuh keprihatinan ini, kita masih bisa berkumpul dengan anak dan istri tercinta. Â
Seorang suami, seorang ayah yang memimpin do'a, dan sekaligus menjadi imamnya - tentu saja.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H