Mohon tunggu...
Adjat R. Sudradjat
Adjat R. Sudradjat Mohon Tunggu... Penulis - Panggil saya Kang Adjat saja

Meskipun sudah tidak muda, tapi semangat untuk terus berkarya dan memberi manfaat masih menyala dalam diri seorang tua

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Fenomena Salah Ketik yang Menggelitik

20 Februari 2020   17:54 Diperbarui: 20 Februari 2020   18:21 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Sumber: Pexels)

Belakangan ini, sepertinya publik acapkali disuguhi berita tentang pernyataan salah ketik yang dilontarkan para pejabat, baik yang terkait dengan surat dinas, maupun mengenai rancangan suatu aturan perundang-undangan yang akan dibahas.

Sebelumnya publik tergelitik dengan surat balasan dari Gubernur DKI Jakarta, Anies R. Baswedan yang ditujukan kepada Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg), Pratikno, terkait penyelenggaraan Formula E di Monas, Jakarta Pusat.

Adapun yang menimbulkan polemik dari surat itu,  adalah adanya dugaan pemalsuan rekomendasi Tim Ahli Cagar Budaya (TACB). Tertulis dalam surat yang diteken Anies, bahwa penyelenggaraan balapan Formula E di kawasan Monas pada 6 Juni mendatang, sudah mendapat persetujuan dari TACB DKI.

Namun, Ketua TACB DKI Jakarta, Mundardjito mengatakan, TACB tidak pernah mengeluarkan rekomendasi soal penyelenggaraan Formula E 2020 di kawasan Monas. TACB juga tidak pernah melakukan kajian soal penyelenggaraan Formula E di area Monas yang merupakan kawasan cagar budaya.

Polemik surat tersebut ahirnya diklarifikasi Sekretaris Daerah (Sekda) DKI Jakarta, Saefullah, bahwa kesalahan bukan terletak di pundak Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, melainkan disebabkan oleh salah ketik belaka.

Menyusul sekarang ini yang tak kalah hebohnya, adalah mengenai adanya aturan dalam draf omnibus law RUU Cipta Kerja yang menyebut pemerintah bisa mencabut Undang-undang (UU) lewat Peraturan Pemerintah (PP). Aturan itu tercantum di pasal 170 RUU Cipta Kerja.

Adapun bunyi pasal 170 RUU Cipta Kerja adalah sebagai berikut:

"Dalam rangka percepatan pelaksanaan kebijakan strategis cipta kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), berdasarkan Undang-Undang ini Pemerintah Pusat berwenang mengubah ketentuan dalam Undang-Undang ini dan/atau mengubah ketentuan dalam Undang-Undang yang tidak diubah dalam Undang-Undang ini."

Kemudian, pada Pasal 170 ayat 2 disebutkan bahwa perubahan ketentuan diatur dengan Peraturan Pemerintah. Kemudian ayat berikutnya menyatakan dalam rangka penetapan peraturan pemerintah, pemerintah dapat berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Menanggapi hal itu, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD, mengatakan, ada kemungkinan penempatan aturan tersebut di dalam draf itu disebabkan salah ketik.

"Kalau isi UU diganti dengan PP, diganti dengan perpres, itu tidak bisa. Mungkin itu keliru ketik. Atau mungkin kalimatnya tidak begitu. Saya tidak tahu kalau ada (aturan) begitu (di dalam draf)," ujar Mahfud di Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, Senin (17/2/2020).

Dari dua kasus salah ketik di atas, baik Sekda DKI Jakarta Saefullah, maupun Menko Polhukam, Mahfud MD, cenderung menuding telunjuknya kepada petugas yang mengetik naskah, baik surat atwa juga draf RUU Cipta Kerja, telah melakukan kesalahan dalam melaksanakan tugasnya.

Apakah semudah itu di dalam birokrasi di negeri ini terjadi suatu kesalahan ketik, atawa tulis, sebagaimana dengan yang terjadi pada 75 tahun lalu, yakni ketika Bung Karno menulis naskah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang banyak coretannya?

Rasanya terlalu naif jika dibandingkan saat ini dengan masa pra kemerdekaan yang serba darurat di tahun 1945. Peralatan tulis di kantor-kantor pemerintahan pun sepertinya sudah tak mengenal lagi dengan mesin tik manual, dari pusat hingga pelosok desa sudah disediakan jenis alat tulis komputer dan laptop. Sementara operatornya pun sudah terpilih melalui berbagai ujian saat perekrutan.

Terlebih lagi dengan para petugas operator di pemerintahan tingkat provinsi dan pusat, sepertinya tidak hanya mengandalkan satu personal saja. malahan bisa jadi sebelum dicetak ke atas kertas, untuk dipublikasikan, paling tidak harus melalui penyuntingan naskah yang dilakukan secermat mungkin. Sehingga kecil kemungkinan terjadi kesalahan ketik sebagaimana diungkapkan dua pejabat di atas.

Selain itu, keraguan publik terhadap alasan yang dikemukakan di atas, pun tidak semata terhadap kesalahan ketik saja. Melainkan juga kecerobohan seorang pimpinan, sebagaimana halnya dalam hal surat balasan Anies Baswedan untuk Mensesneg Pratikno, suka maupun tidak ada unsur kecerobohan  di dalamnya.

Bisa jadi dalam kasus tersebut mulai dari tukang ketik sampai Anies Baswedan sendiri sudah melakukan suatu kecerobohan di dalam tugasnya. Yang jelas terlihat adalah kurang atawa tidak adanya koordinasi yang baik antara atasan dengan bawahan.

Demikian juga halnya dengan alasan salah ketik yang dilontarkan Mahfud MD. Rasa-rasanya meragukan juga. Sebab isi dari pasal 170 RUU Cipta Kerja, aelain tercantum secara terstruktur, juga suatu hal yang mustahil bisa terjadi dalam pada dua ayat yang saling terkait.

Kecuali jika hal itu terjadi pada seorang penulis, sudah pasti kesalahan ketik bakal diakui oleh semua para penulis. Bagaimanapun hal itu terjadi, selain semuanya dikerjakan sendirian, juga karena alasan mengejar waktu tayang merupakan alasan para penulis yang sudah biasa terdengar. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun