Belakangan ini, sepertinya publik acapkali disuguhi berita tentang pernyataan salah ketik yang dilontarkan para pejabat, baik yang terkait dengan surat dinas, maupun mengenai rancangan suatu aturan perundang-undangan yang akan dibahas.
Sebelumnya publik tergelitik dengan surat balasan dari Gubernur DKI Jakarta, Anies R. Baswedan yang ditujukan kepada Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg), Pratikno, terkait penyelenggaraan Formula E di Monas, Jakarta Pusat.
Adapun yang menimbulkan polemik dari surat itu, Â adalah adanya dugaan pemalsuan rekomendasi Tim Ahli Cagar Budaya (TACB). Tertulis dalam surat yang diteken Anies, bahwa penyelenggaraan balapan Formula E di kawasan Monas pada 6 Juni mendatang, sudah mendapat persetujuan dari TACB DKI.
Namun, Ketua TACB DKI Jakarta, Mundardjito mengatakan, TACB tidak pernah mengeluarkan rekomendasi soal penyelenggaraan Formula E 2020 di kawasan Monas. TACB juga tidak pernah melakukan kajian soal penyelenggaraan Formula E di area Monas yang merupakan kawasan cagar budaya.
Polemik surat tersebut ahirnya diklarifikasi Sekretaris Daerah (Sekda) DKI Jakarta, Saefullah, bahwa kesalahan bukan terletak di pundak Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, melainkan disebabkan oleh salah ketik belaka.
Menyusul sekarang ini yang tak kalah hebohnya, adalah mengenai adanya aturan dalam draf omnibus law RUU Cipta Kerja yang menyebut pemerintah bisa mencabut Undang-undang (UU) lewat Peraturan Pemerintah (PP). Aturan itu tercantum di pasal 170 RUU Cipta Kerja.
Adapun bunyi pasal 170 RUU Cipta Kerja adalah sebagai berikut:
"Dalam rangka percepatan pelaksanaan kebijakan strategis cipta kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), berdasarkan Undang-Undang ini Pemerintah Pusat berwenang mengubah ketentuan dalam Undang-Undang ini dan/atau mengubah ketentuan dalam Undang-Undang yang tidak diubah dalam Undang-Undang ini."
Kemudian, pada Pasal 170 ayat 2 disebutkan bahwa perubahan ketentuan diatur dengan Peraturan Pemerintah. Kemudian ayat berikutnya menyatakan dalam rangka penetapan peraturan pemerintah, pemerintah dapat berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Menanggapi hal itu, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD, mengatakan, ada kemungkinan penempatan aturan tersebut di dalam draf itu disebabkan salah ketik.
"Kalau isi UU diganti dengan PP, diganti dengan perpres, itu tidak bisa. Mungkin itu keliru ketik. Atau mungkin kalimatnya tidak begitu. Saya tidak tahu kalau ada (aturan) begitu (di dalam draf)," ujar Mahfud di Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, Senin (17/2/2020).