Belakangan ini, gelombang protes menentang revitalisasi pusat kesenian dan kebudayaan Taman Ismail Marzuki (TIM) oleh Pemprov DKI Jakarta, seakan tiada henti dilakukan para seniman dan budayawan.
Sudah tiga bulan lebih Forum Seniman Peduli TIM, yang dipimpin budayawan Radhar Panca Dahana dan Noorca M. Massardi, yang mengusung tagar #saveTIM itu tanpa lelah melakukan berbagai aksi menolak Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 63 Tahun 2019, yang memberi kewenangan kepada BUMD Pemprov DKI Jakarta, PT Jakarta Propertindo (Jakpro) untuk mengelola TIM, kelak ketika usai kegiatan pembongkaran dan pembangunan, yang tengah berlangsung sekarang ini.
Disebutkan, Jakpro yang tugas pokoknya merawat gedung-gedung DKI itu, nantinya diserahi tugas untuk mengkomersialkan seluruh ruang dan bangunan, menarik penghasilan dari penyewaan 200 kamar hotel, dari area parkir bawah tanah seluas lapangan bola, serta dari media iklan elektronik luar ruang yang akan dipasang di tempat-tempat strategis di kawasan TIM.
Kebijakan Anies Baswedan tersebut, menurut Noorca M. Massardi bertolak belakang dengan maksud dan visi almarhum Ali Sadikin, Gubernur DKI Jakarta (1966-1977), di saat mendirikan TIM sebagai rumah ekspresi seniman dan budayawan.
Paling tidak dalam hal ini pun Anies dianggap telah melakukan kekeliruan yang sama dengan setiap program revitalisasi yang telah dilaksanakannya selama ini. Mulai dari revitalisasi pedesterian, monumen nasional, (Monas), dan sejumlah program revitalisasi yang lainnya, yang dianggap tidak sesuai dengan kehendak masyarakat banyak.
Bahkan dalam revitalisasi TIM, yang sejatinya sebagai rumah ekspresi seniman dan budayawan - sebagaimana ditegaskan almarhum Bang Ali, di dalam perencanaan dan pelaksanaannya pun tidak melibatkan kelompok masyarakat tersebut, yang notabene sebagai "tuan rumah" sejak bekas bekas Taman Raden Saleh itu didirikan pada 1968.
Sehingga tak salah bila seorang Radhar Panca Dahana, tanpa tedeng aling-aling menuding Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan tidak mau mendengar suara para seniman yang memprotes revitalisasi.
Radhar mengatakan, Anies Baswedan dan jajarannya menolak ditemui para seniman, dan pihak Pemprov DKI menutup komunikasi dengan mereka.
"Kita sudah bicara dengan anak buahnya, deputinya, sekdanya, Jakpro, kita ke DPRD, tapi Gubernur budeg! Nggak mau denger, kita cuma mau bilang ayo kita ngomong, susahnya apa ngomong, nggak mau ngomong," ujar Radhar usai Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Komisi X DPR mengenai revitalisasi TIM di DPR, Senayan, Jakarta, Senin (17/2/2020).
"Karena budegnya itu tiba-tiba dibentengi semua tim itu kita enggak boleh masuk, di dalam dia menghancurkan semua yang selama ini menjadi rumah ibadah kita (pusat kebudayaan di TIM)," sambung Radhar.
Dia menuding Pemprov DKI tidak memahami kebudayaan sehingga dibuat hancur dengan revitalisasi TIM tersebut. Dia juga menilai Pemprov DKI arogan terhadap kelompok seniman. Apalagi sampai menutup komunikasi.