"Genderang yang yang tiada berhenti berdentam-dentam, mengusik Ibu Pertiwi yang sedang bersimpuh memanjat do'a, agar negeri ini senantiasa aman sentausa, dan cita-cita menuju masyarakat yang adil dan makmur segera menjadi nyata."
Sepenggal catatan yang ditemukan di atas meja, sesaat membuat saya terpana. Tak menyangka, anak saya yang bungsu sudah berani bersuara. Selain itu ternyata remaja putri kesayangan kami itu memiliki interest terhadap negaranya.
Padahal sehari-hari tingkahnya masih tampak kekanak-kanakan. Sebagaimana kebanyakan anak jaman now, hampir tak lepas dengan gawai di tangan.
Sepulang sekolah, saya pun mendekatinya. Sebagaimana biasa, obrolan ringan keseharian menjadi awal pembicaraan. Setelah susananya semakin santuy, saya pun menanyakan ihwal catatannya tersebut.
"Habis saban hari di media sosial, di portal media berita, sepertinya tak henti-hentinya membahas soal yang kontroversial, sehingga menimbulkan kegaduhan. Pusing saya membacanya!" ungkapnya penuh kesal.
"Memang masalah apa tuh?" pancing saya.
"Banyak. Misalnya  Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly. Dia itu sepertinya yang paling suka bikin kegaduhan. Mulai dari revisi Undang-undang KPK dan RKUHP, sampai sekarang ini soal suap Komisioner KPU yang disebut melibatkan partai kepala banteng."
Lalu Menteri Kelautan dan Perikanan, Edhi Prabowo, yang mewacanakan ekspor bibit lobster. Padahal sudah jelas waktu Bu Susi Pudjiastuti juga dilarang, lantaran selain akan merusak hanitatnya, lobsternya pun lambat-laun akan punah.
Sekarang dirambah lagi dengan kehaduhan yang ditabuh Menteri Agama, Fachrur Razi, soal memulangkan mantan WNI pendukung ISIS dari Suriah. Tambah bising saja negara ini! Tapi anehnya, kenapa Presiden Jokowi seperti tak memperdulikan kegaduhan yang ditabuh para menterinya itu ?" katanya penuh tanda tanya.
Saya hanya geleng-geleng kepala saja mendengarnya. Sulit untuk menjawab pertanyaan itu. Hanya saja yang jelas, saya merasakan ada kegeraman dalam diri anak yang baru duduk di kelas satu SMA juga terkait kegaduhan di negeri ini, akibat ulah jajaran pembantu Presiden Jokowi belakangan ini.
Memang benar, Presiden jokowi sendiri seolah membiarkan kegaduhan itu terus berlanjut. Bak bola liar yang menggelinding tak tentu arah lagi. Padahal kalau terus dibiarkan, tidak menutup kemungkinan akan mengganggu stabilitas nasional yang memang sebelumnya juga sudah centang-perenang.
Sebagaimana yang terjadi dalam satu pekan terakhir, publik dihebohkan dengan pernyataan Menteri Agama Fachrul Razi yang akan memulangkan 600 WNI eks-kombatan ISIS dari Timur Tengah, dengan dalih atas dasar kemanusiaan.
Publik pun menilai, yang disampaikan Fachrul Razi mencerminkan betapa buruknya komunikasi publik seorang pejabat negara yang sangat tidak bijaksana.
Betapa narasi yang dibangun oleh pembantu Presiden yang satu ini, terkesan cari masalah dan seperti kurang kerjaan plus hanya cari sensasi semata.
Namun demikian, setelah setelah ditelusuri lebih jauh ternyata pernyataan awal wacana pemulangan 600 WNI eks-kombatan ISIS disuarakan oleh salah seorang Deputi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dalam suatu seminar, Bukan oleh Menag Fahrul Razi.
Tapi terlepas dari itu, suatu kesalahan fatal dari seorang Pejabat Negara yang tidak perlu dilakukan. Di samping suatu isu yang sangat sensitif juga sebenarnya masalah pemulangan ex WNI ISIS bukan urusan Menag tapi urusan Menkopolhukam, Menkumham, Menlu, BNPT, Mendagri dan Polri.
Sementara itu masalah intoleransi antar umat beragama, seperti misalnya penolakan pembangunan tempat ibadat, terkesan dibiarkan. Padahal seorang Menteri agama sudah seharusnya berdiri di garis depan dalam menyelesaikan permasalahan tersebut.
 Seorang Menteri Agama harus mampu  menciptakan kenyamanan, ketenangan, dan kekhusyukan setiap warga negaranya dalam menunaikan ibadat sesuai dengan keyakinannya masing-masing.
Begitu juga dengan kontroversi seorang Yasonna Laoly, secara etika sudah banyak yang dilanggarnya. Mulai dari cara bicaranya dalam menjawab kritikan warga, terkesan begitu melecehkan. Sebagaimana menjawab kritikan Dian Sastro tempo hari.
Belum lagi dalam menilai terjadinya tindak kriminalitas, tidaklah pantas  membandingkan suatu wilayah dengan wilayah lain tanpa dibarengi data yang akurat. Sehingga tak pelak lagi hal itu pun memicu unjuk rasa warga Tanjung Priok yang merasa disudutkan atas pernyataannya itu.
Bahkan yang paling mengenaskan, dalam menghadapi unjuk rasa penolakan pengesahan RKUHP dan revisi Undang-undang KPK tempo hari, seorang menteri hukum dan hak asasi manusia terkesan membiarkan bergelimpangannya korban pengunjuk rasa akibat tindak kekerasan yang dilakukan aparat.
Yang paling banyak mengundang pertanyaan publik, adalah di saat heboh kasus suap komisioner KPU. Yasonna Laoly yang memang kader PDIP, tapi sudah jadi Menteri di kabinet Jokowi-Ma'ruf, masih juga ikut-campur di internal partai pimpinan Megawati itu.
Oleh karena itu publik, sebagaimana anak remaja kami, berharap Presiden Jokowi melakukan tindakan nyata untuk menghentikan kegaduhan di negeri ini. Karena waktu terus berjalan. Tugas Presiden dan pemerintahannya jelas terbatas. Hanya lima tahun saja.
Sementara namanya saja Kabinet Indonesia Maju, kalau hanya bikin kegaduhan, dan sama sekali tidak bekerja demi kemajuan negara dan bangsa ini, apa susahnya menteri yang tidak becus bekerja diganti saja.
Masih banyak tokh kader bangsa yang lebih tahu, dan mampu bekerja sesuai dengan visi dan misi yang dicanangkan Presiden Jokowi ini.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H