Hanya saja berhubung oleh pemerintah dianggap jenis narkotika yang berbahaya, maka setiap kali ditemukan ladang ganja, langsung saja dimusnahkan.
Padahal andaikan saja pemerintah membuat regulasi, atawa aturan sebagaimana yang diusulkan Rafly, hanya ditujukan untuk ekspor sebagai bahan obat dan keperluan medis lainnya, sementara petani hanyalah sebatas membudidayakannya, tidak menutup kemungkinan kesejahteraan petani pun tidk sekedar angan-angan.
Andaipun masih merasa khawatir akan disalahgunakan, pengawasan ketat pihak aparat kepolisian dan BNN pun dapat dimaksimalkan. Sebar mereka di setiap ladang ganja. Jaga agar jangan sampai disalahgunakan. Gitu aja koq repot.
Bukankah tujuannya pun sungguh mulia. Di samping untuk meningkatkan kesejahteran petani, menambah pemasukan pendapatan ke kas negara, juga memberikan pertolongan kepada mereka butuh kesembuhan dari penyakit yang dideritanya.
Mungkin kita masih ingat dengan kasus seorang aparatur sipil negara (ASN) di Sanggau, Kalimantan Barat, bernama Fidelis yang divonis hakim Pengadilan Negeri Sanggau, Kalimantan Barat, karena terbukti bersalah dalam kepemilikan 39 batang pohon ganja yang digunakannya untuk mengobati istrinya, Yeni Riawati, Â yang menderita penyakit langka Syringomyeila.
Setelah Fidelis ditangkap, dan ditahan BNN Kabupaten Sanggau, ahirnya Yeni Riawati meninggal dunia, lantaran selama 32 hari tidak mendapatkan asupan ekstrak ganja yang saat itu menjadi satu-satunya harapan untuk dapat sembuh, dan bertahan hidup.
Kemana nurani pemerintah dan aparat penegak hukum saat itu?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H