Kehidupan malam di pelosok perkampungan, bisa jadi cukup menjenuhkan memang. Selain karena gelap-gulita, ditambah pula sedang musim hujan.
Apa boleh buat, kegitan warga pun semakin terbatas. Nyaris hanya berkutat di seputar rumah, ditemani radio yang menyuguhkan hiburan satu-satunya sebagai pengantar istirahat setelah seharian bekerja di sawah maupun di ladang. Â
Keadaan seperti itu dialami warga kampung kami di era tahun 1980-an. Sebelum meletus gunung Galunggung, listrik belum ada tanda-tandanya mau singgah ke kampung kami memang. Jalan desa yang membentang dari barat ke timur pun masih berbatu kerikil, sama sekali belum mulus oleh sentuhan aspal.
Sehingga kondisi seperti itu, tak ada lagi pilihan selain berkumpul dalam rumah bersama keluarga. Paling banter mendengarkan siaran radio yang menyuguhkan siaran hiburan wayang golek dari RRI di Sabtu malam.
Sedangkan pada malam-malam lainnya, pukul sembilan malam saja suasana perkampungan sudah sepi-saupi. Perkampungan seakan mati. Tinggal serangga malam yang seakan sedang bersaing unjuk suara memecah keheningan.
Tapi bagi anak-anak muda keadaan seperti itu tak menghalangi untuk tetap beraktivitas sebagaimana laiknya dilakukan kebanyakan remaja dan pemuda yang masih lajang dimana pun mereka tinggal.
Menghabiskan waktu malam dengan beragam kegiatan, seperti misalnya kongkow-kongkow di pos kamling sambil main kartu gaple, nyanyi bersama dengan iringan gitar dan tetabuhan lain alakadarnya, dihangatkan juga oleh api unggun, adalah rutinitas anak muda di kampung, begadang namanya sebagaimana dipopulerkan Si Raja Dangdut Rhoma Irama lewat salah satu lagunya yang berjudul sama, yakni "Begadang" juga.
Sepertinya begadang bagi remaja dan pemuda angkatan '80-an di kampung kami tak cukup sebagaimana yang tadi disebutkan. Kalau kebetulan terang bulan, dan tidak turun hujan, mereka pun punya kegiatan konvoi berkeliling kampung, menyusuri gang sempit serupa labirin yang saling bertautan dari rumah yang satu ke rumah lainnya.Â
Tujuannya selain menghabiskan waktu untuk menghilangkan kejenuhan, juga mencari sasaran, siapa tahu ada pemuda dari luar kampung yang datang bertandang ke rumah gadis di kampung kami.
Nah, kalau kebetulan pemuda luar kampung itu tidak kami kenal, apalagi jika yang bersangkutan berlagak sok jagoan, maka para pemuda pun bertindak. Selain mengusirnya, Â juga ditantang untuk duel sekalian.
Akan tetapi jika pemuda luar kampung itu dikenal oleh pemuda kampung pribumi, atawa masih sanak saudara salah satu pemuda kampung kami, yang bersangkutan pun akan merasa nyaman. Apa lagi jika sudah berjanji untuk memperistri gadis yang didatanginya itu, ditambah juga royal memberikan rokok buat pemuda pribumi.
Sesungguhnya bukan sebatas itu pula kegiatan mereka. Bahkan di antara mereka sampai ada yang memiliki  pengalaman yang lumayan sampai melewati batas pula. Bisa jadi hal itu dilakukan oleh anak muda yang masuk kategori paling nakal, dan memiliki libido yang lumayan tinggi.
Apalagi namanya kalau kegiatan mengintip sepasang suami-isteri yang sedang memadu berahi, yang kata ustaz merupakan kewajiban seorang suami memberi nafkah batin isterinya.
Nah, kegiatan intip-mengintip yang sudah dianggap hobi oleh pemuda yang sudah biasa melakukannya itu, ternyata selain menjadi bahan obrolan yang mengundang rangsang, juga  memiliki kisah tersendiri yang terkadang juga menggelikan.
Sebagaimana yang dialami seorang teman yang memang memiliki hobi tersebut, ketika suatu malam sedang berkeliling di sekitar kampung sendirian, tetiba telinganya menangkap sebuah percakapan antara sepasang suami-isteri yang datangnya dari sebuah rumah.
Kebetulan saat itu kebanyakan rumah di kampung kami kebanyakan masih berupa rumah panggung yang dindingnya hanya dilapisi anyaman bambu. Sehingga suara-suara dari dalam rumah akan dengan jelas terdengar oleh mereka yang berada di luar.
Teman kami yang satu itu merasa curiga, dan penasaran dibuatnya, karena percakapan itu dibarengi suara mengaduh dengan nada panjang, yang keluar dari mulut isterinya, lalu kemudian disusul aduhan serupa yang keluar dari mulut sang suami. Sehingga benak teman itu pun langsung mengarah pada masalah yang hanya boleh didengar oleh mereka yang sudah berusia dewasa. Apalagi disebutnya kalau bukan urusan ranjang yang merangsang.
Oleh karena itu teman kami itu pun langsung bergegas mendekati rumah itu. sambil mengendap-ngendap, tentu saja, niatnya saja mau mengintip. Dengan hati-hati ia pun langsung mencari celah serupa lobang kecil di antara anyaman bambu dinding rumah itu.
Hanya saja sayang, di dalam rumah yang jadi sasaran sama sekali tak ada seberkas sinarpun yang menerangi, suasananya gelap gulita. Sehingga tidak nampak kegiatan apa pun yang terlihat. Kecuali suara aduh yang bersahutan dari sepasang suami-isteri penghuninya.
Meskipun secara visual tak bisa dijadikan bahan tontonan, lewat suara pun masih lumayan untuk membangkitkan libido. Begitu pikir teman kami itu. Bahkan hanya melalui desahan suara, atawa kecipak kecupan, dan derit ranjang yang berirama itu pun sepertinya dianggap memiliki kelebihan tersendiri, katanya, paling tidak mampu membangkitkan imajinasi sampai ke tingkat paling tinggi.
Maka dengan hanya menempelkan satu daun telinganya pada lubang kecil di dinding anyaman bambu rumah itu, teman kami itu pun merakan nyaman juga untuk mengintip kegiatan yang sedang dilakukan sepasang penhuni rumah.
"Addduuuuhhh... Sakit, Kang!' suara lenguh sang istri jelas terdengar.
"Addduuuuhhh... Sakit, Nyi!" sahut suaminya.
Libido dan imajinasi teman kami pun semakin membumbung tinggi karenanya. Sehingga ia pun gelisah juga tampaknya.
Hanya saja selang bebepa menit kemudian, dari dalam rumah ada sinar temaram, kiranya dari lampu tempel yang baru dinyalakan. Dan disusul kemudian oleh bentakan suaminya,
"Buruan cebok, aku pun sudah tidak tahan!"
Saat mata teman kami mengintip ke dalam, tampak isterinya terhuyung keluar dari dapur dengan selembar kain yang menutup tubuhnya sambil mengurut-urut perut. Sementara suaminya tergesa menyelinap ke dapur dengan hanya bercelana kolor.
Disusul kemudian terdengar bunyi Plung! Plung! Serupa benda yang jatuh ke dalam air dari dapur. Dibarengi suara sang suami yang bersungut-sungut yang ditujukan kepada isterinya, "Kamu sih bikin sambal kebanyakan cabenya. Sampai kita berdua sakit perut dibuatnya!"
Teman kami yang satu itu pun melongo mendengar kata-kata sang suami dari arah dapur yang serupa umpatan itu. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H