Mohon tunggu...
Adjat R. Sudradjat
Adjat R. Sudradjat Mohon Tunggu... Penulis - Panggil saya Kang Adjat saja

Meskipun sudah tidak muda, tapi semangat untuk terus berkarya dan memberi manfaat masih menyala dalam diri seorang tua

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Esai: Suatu Pagi Dalam Percakapan Diam

2 April 2017   00:43 Diperbarui: 2 April 2017   01:14 422
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Sumber: Tribun Jabar-Tribunnews.com

Dengan dua gelas kopi hitam Sumatera asli kiriman seorang teman, sebenarnya lengkap sudah pertemuan sepagi ini untuk menambah hangatnya percakapan. Namun entah kenapa, wajah sendu Gerimis masih tetap bertahan meski telah kupancing dengan beragam candaan.

Sungguh. Menghadapi kondisi yang demikian ini, diam-diam aku sendiri jadi merasa sedikit frustasi. Terbersit keinginan untuk mengakhiri pertemuan ini, dan berharap kedatangan Matahari agar kebekuan di antara kami mencair kembali.

Akan tetapi harapan itu pun tampaknya masih jauh untuk menjadi kenyataan. Matahari pun kalau sudah terjebak dalam keadaan seperti ini, biasanya lebih memilih untuk memejamkan matanya lagi dalam waktu yang sulit ditentukan.

Sambil menyeruput kopi, kutatap wajah sendu Gerimis yang tertekuk dengan tatapan yang tepat jatuh pada meja. Memang harus kuakui, meskipun diselimuti kesenduan yang teramat dalam, malah membuatnya semakin mempesona saja dari biasanya.

Tanpa terasa, aliran darah di sekujur tubuhku seakan berdenyut kencang. Gerimis yang belakangan ini seringkali datang bertandang, baru sekarang ini benar-benar lebih menyita perhatian.

Benarkah aku telah jatuh hati kepada Gerimis yang duduk di depanku ini, dan berharap untuk tetap bersamaku lebih lama lagi. Padahal dalam setiap pertemuan sebelumnya, bahkan sewaktu beberapa saat tadi, aku seringkali merasa tak sudi untuk bersua lama-lama, dan ingin dia untuk segera beranjak pergi.

Tiba-tiba aku tergeragap, bak maling yang terperangkap saat Gerimis mengangkat wajahnya, sementara matanya begitu tajam menatap.

“Hari ini aku membawa kabar duka lagi. Di sebuah desa di Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur telah terjadi longsor yang memakan banyak korban jiwa,” katanya dengan lirih.

Mendengar kabar yang disampaikan barusan, kehangatan yang tadi diam-diam  mendekap erat pun seketika lenyap menghilang. Tubuhku langsung menggigil disergap ketakutan yang menghujam.

Bencana alam, perilaku seksual yang menyimpang, penculikan, teror bom, rebutan lahan penghidupan, juga elit yang tiada henti berebut kursi kekuasaan dengan cara-cara yang barbar, selalu saja disampaikan Gerimis dalam setiap pertemuan.

Perutku seketika terasa mual, seakan diaduk tangan raksasa yang tak berperasaan. Kepala terasa pusing seakan dikelilingi ribuan bintang yang berpendar-pendar.

Terlebih lagi saat mendengar kabar dengan begitu banyaknya orang yang berilmu, tetapi ilmunya itu telah ditukar dengan sesuatu yang semu hanya demi mengikuti hawa nafsu.

Terpelanting aku pada pusaran yang begitu asing. Betapa telingaku terasa pekak seakan mendengar dering yang begitu mendenging. Kata-kata yang keluar dari mulut mereka yang mengaku paling taat, dan paling yakin, tak lebih bak seekor anjing yang menggonggong saat menghujat, dan terkaing-kaing, lalu berlari pantang-panting bila ketahuan telah berlaku dzalim.

Sehingga bisa jadi Tuhan pun merasa kecewa. Kemudian menurunkan adzab-Nya. Tetapi orang banyak yang tak berdosa pun ikut kena getahnya...

Brakkk!!! Tubuhku terjatuh, ambruk menimpa meja. Sementara Gerimis pergi tanpa pamit lagi, dan berganti dengan Hujan yang begitu lebatnya.***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun