Di dalam skandal megakorupsi sekarang ini pun nama Setya Novanto disebut memiliki peran besar. Ia disebut menerima aliran duit haram sebesar 11 persen dari total nilai anggaran Rp 5,9 triliun, atawa sekitar Rp 574 miliar.
Hanya saja politikus Partai Golkar yang pernah divonis bersalah melanggar kode etik oleh MKD itu pun buru-buru membatah. Bahkan sampai berucap: “Demi Allah”. Setnov pun mempersilahkan KPK memeriksa rekeningnya, untuk membuktikan ada tidaknya aliran dana e-KTP di dalamnya, dan terkesan sama sekali tidak merasa bersalah.
Memang tidak hanya Setnov saja yang memberi bantahan. Ganjar Pranowo, politikus PDIP yang saat ini menjabat Gubernur Jawa Tengah, dan disebut menerima 520.000 dollar AS, atawa sekitar Rp 5,04 miliar, Ade Komarudin, politikus Partai Golkar, disebut telah mengantongi 100.000 dollar AS yang setara Rp 970 juta, serta sederet nama besar lainnya sudah memberikan bantahan. Sama sekali tidak pernah menerima aliran duit haram itu. Bahkan seorang politikus Partai Demokrat, Marzuki Alie, yang juga mantan Ketua DPR RI periode 2009-2014, dan disebut menerima Rp 20 miliar, dengan sigapnya malah balik melaporkan Irman dan Sugiharto ke Bareskrim Polri.
Bisa jadi karena itu pula di kalangan masyarakat muncul suatu guyonan. Saat ini di Indonesia tidak hanya mengenal adanya musim kemarau dan musim hujan saja, akan tetapi ternyata sudah muncul juga musim bantah-membantah. Mungkin guyonan itu muncul karena telah terjadinya fenomena bantahan semua politisi yang disebut terlibat bancakan dana haram tersebut.
Hanya saja sudah bukan rahasia lagi. Selama ini, di negeri ini, tudingan bahwa politisi memang merupakan sebagai biangnya tindak pidana korupsi. Sehingga tak salah lagi, bagi Presiden jokowi akan menjadi sebuah tantangan besar untuk uji nyali.
Demikian juga halnya dengan KPK sendiri. Kasus ini dapat dijadikan ajang pembuktian kalau lembaga antirasuah periode sekarang ini yang pada awalnya diragukan keberaniannya oleh banyak pihak, sekarang ini akan menjadi saat yang tepat sekali.
Apakah akan maju terus, dan pantang mundur, atawa malah tak berkutik karena keburu dikriminalisasi sebagaimana yang sebelumnya pernah terjadi beberapa kali?
Mari kita kawal terus tanpa henti. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H