Memasuki tahun 2017 ini, GNPFMUI semangatnya ternyata masih tetap berkobar untuk mengawal proses hukum Ahok yang sekarang ini sudah ditetapkan sebagai terdakwa. Dengan didukung FUI, 11 Pebruari 2017 dua organisasi itu kembali melakukan aksinya dengan label Aksi Bela Islam 4. Hanya saja kali ini aksi yang semula akan digelar di lapangan Monas, ternyata dirubah menjadi "Dzikir & Tausiyah Nasional untuk Penerapan Surat Al-Maidah 51: Wajib Pilih Pemimpin Muslim & Haram Pilih Pemimpin Kafir", di masjid Istiqlal.
Sungguh. Enerji dan semangat para pengunjukrasa yang dipimpin banyak pemuka agama itu sepertinya tak pernah padam. Malahan sebaliknya ibarat api dalam kebakaran besar yang ditiup angin, semakin berkorbar untuk mendorong aparat penegak hukum segera menjebloskan seorang, ya seorang Ahok ke dalam penjara.
Padahal, bukankah proses hukum terhadap mantan Bupati Belitung Timur itu sedang berjalan. Ataukah para pengujukrasa itu memang sudah kehilangan kepercayaan terhadap penegakan hukum. Atau barangkali kebencian mereka terhadap seorang Ahok sudah memenuhi ubun-ubun. Atau karena Ahok seorang etnis Tionghoa, beragama Kristen, dan kebetulan menjadi Gubernur?
Entahlah. Pertanyaan itu muncul begitu saja. Dan jawabnya pun malah membuat semakin memunculkan banyak pertanyaan yang menyusulnya juga.
Entahlah. Meskipun sejak lahir saya beragama Islam, bisa jadi pengetahuan agama saya masih sedikit saja. Dan mungkin juga kadar keimanan saya belum setinggi mereka.
Hanya saja, usai menemukan sebuah artikel yang ditulis seorang Buya Syafii Maarif, beragam pertanyaan dalam benak itupun sedikit menemukan titik terang. Dalam artikel yang dimuat di Koran Tempo edisi Jumat, 2 Desember 2016, mengusulkan, “Bila dalam proses pengadilan nanti terbukti terdapat unsur pidana dalam tindakan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok pada 27 September 2016, agar dihukum selama 400 tahun atas tuduhan menghina Al-Quran, kitab suci umat Islam itu”.
Mantan Ketua Umum PP Muhammadyah, dan pendiri Maarif Institute, itu menambahkan, agar “pihak-pihak yang menuduh terpuaskan tanpa batas. Biarlah generasi yang akan datang yang menilai berapa bobot kebenaran tuduhan itu. Sebuah generasi yang diharapkan lebih stabil dan lebih arif dalam membaca politik Indonesia yang sarat dengan dendam kesumat ini.”
Benarkah demikian?
Wallahu’alam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H