Kasus pembunuhan terhadap Direktur Utama PT Putra Rajawali Banjaran, Nasrudin Zulkarnaen yang terjadi 14 Maret 2009 lalu, dengan terdakwa Ketua KPK (saat itu) Antasari Azhar, hingga saat ini masih menjadi polemik berkepanjangan. Terlebih lagi setelah yang bersangkutan mendapat grasi dari Presiden Jokowi, kemudian bicara tanpa tedeng aling-aling di depan media, berupa sebuah pengakuan yang begitu mengejutkan. Pro-kontra di tengah publikpun kian hangat saja.
Tudingan Antasari sebagai praktisi hukum yang mengumbar tudingan terhadap mantan Presiden SBY sebagai dalang yang merekayasa kasus yang membuatnya mendekam di penjara, di satu sisi ada yang mengamininya, dan di sisi lain ada yang menyebutnya justru Antasari sedang dijadikan pion permainan politik oleh penguasa saat ini.
Sementara SBY pun yang menjadi sasaran tembak Antasari, selain seperti biasanya berkicau melalui akun Twitternya, maka para pengacaranya pun bergerak cepat untuk melaporkan tudingan Antasari kepada pihak kepolisian yang dianggap sebagai fitnah yang keji terhadap kliennya itu.
Hanya saja, saya yang sedari peristiwa pembunuhan terhadap Nasrudin itu terjadi terus mengikutinya melalui berbagai media, merasa takjub dan aneh terhadap sikap keluarga almarhum Nasrudin Zulkarnaen yang secara keji ditembak saat hendak bermain golf itu.
Betapa tidak, secara logika, sebagaimana yang sering disaksikan, biasanya keluarga korban, selain menaruh dendam terhadap pelaku pembunuhan, juga menuntut hukuman yang sangat berat terhadap terdakwa pembunuh keluarganya. Jarang sekali ditemui keluarga korban yang mau memafkannya.
Sementara yang terjadi dalam kasus Antasari Azhar justru malah sebaliknya. Adik kandung almarhum Nasrudin Zulkarnaen, Andi Samsudin, sedari awal justru mengatakan kasus yang menimpa almarhum kakaknya, dan yang membuat Antasari Azhar didakwa sebagai pelaku pembunuhannya, merupakan sebuah rekayasa belaka.
Malahan Andi Syamsudin, berniat untuk membongkar kasus pembunuhan kakaknya dengan terpidana mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Antasari Azhar. Karena Andi menduga ada rekayasa oknum polisi dan jaksa pada kasus tersebut. Hal ini disampaikan Andi ketika bersaksi untuk Antasari dalam sidang gugatan praperadilan Polri di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Kamis (13/11/2014).
Dugaan Andi Syamsudin dibuktikan, dengan bergandengan tangan bersama Antasari Azhar – ‘pembunuh’ kakaknya itu mendatangi Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya pada Rabu (1/2/2017).
Keduanya melaporkan dua perkara ke Mapolda Metro Jaya pada 2011 silam. Laporan itu dibuat saat menjalani dua tahun masa tahanan dalam perkara pembunuhan Nasrudin.
Mengapa Antasari tidak buka suara saat dalam persidangan, dan malah bicara banyak di depan media setelah mendapat grasi dari Presiden Jokowi?
Itulah masalahnya.
Masalah hukum di negeri ini yang seharusnya berdiri sendiri, dan menjadi panglima di atas segalanya, malah tak berdaya karena dijadikan alat politik oleh penguasa. Ungkapan kata rekayasa seakan sudah tidak aneh lagi di telinga.
Telah banyak kasus besar yang muncul di negeri ini dianggap sebagai rekayasa demi kepentingan politik penguasa semata. Bahkan masyarakat banyak yang menduga, tidak demi kepentingan politik saja penguasa memperlakukan hukum sesuka hatinya. Demi kepentingan diri sendiri pun sepertinya sudah menjadi hal yang biasa.
Siapa yang 'kuat' maka itulah yang benar.
Sehingga munculnya pameo “Tumpul ke atas, dan tajam ke bawah” di tengah masyarakat selama ini, merupakan salah satu bukti yang tak dapat disangkal lagi. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H