Mohon tunggu...
Adjat R. Sudradjat
Adjat R. Sudradjat Mohon Tunggu... Penulis - Panggil saya Kang Adjat saja

Meskipun sudah tidak muda, tapi semangat untuk terus berkarya dan memberi manfaat masih menyala dalam diri seorang tua

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Siapa Bilang Media Tak Boleh Memihak?

10 Februari 2017   22:47 Diperbarui: 11 Februari 2017   08:34 1506
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam hiruk-pikuk Pilkada serentak 2017, betapa publik menyaksikan beberapa stasiun televisi swasta, dengan vulgarnya telah membentuk sudut pandang tertentu terhadap salah satu pasangan calon yang bertarung pada Pilkada DKI Jakarta 2017, dengan fakta yang tidak berimbang.

Ada pun stasiun televisi itu adalah MNC TV, Global TV, dan I-News TV. Dan ketiganya adalah milik taipan Hary Tanusudibyo.

Publik melihat betapa paslon nomor urut dua dalam Pilgub DKI 2017, yakni Basuki T. Purnama dan Djarot Saiful Hidayat, selalu hanya sisi buruknya belaka yang ditampilkan. Terlebih lagi dengan Basuki T. Purnama, alias Ahok yang sedang menjadi tersangka penistaan agama. Oleh ketiga stasiun televisi swasta itu Ahok seakan sudah diberi label  sebagai calon Gubernur yang tidak boleh dipilih oleh warga Jakarta.

Bisa jadi Hary Tanu sebagai pemiliknya tidak menyukai Ahok. Selain itu bisa jadi juga Hary Tanu yang belakangan ini mendirikan partai politik, memiliki syahwat tinggi untuk mengalahkan partai politik yang ada di belakang Ahok, yakni PDIP, partai Golkar, partai Nasdem, dan Hanura.

Bagaimana pun publik tahu siapa Hary Tanu. Pengusaha asal Surabaya itu sebelum mendirikan partai politik, pernah bergabung dengan partai Nasdem. Bahkan saat Nasdem masih berupa ormas (organisasi massa). Hanya saja entah apa penyebabnya, setelah Nasdem berganti baju menjadi parpol, tak lama kemudian Hary Tanu hengkang. Kemudian tampak mesra dengan partai Hanura.

Tetapi dalam partai besutan Wiranto itupun hanya berlabuh sejenak saja. Pengusaha yang pernah bersengketa dengan Mbak Tutut, putri mendiang Presiden Soeharto, berebut kepemilikan stasiun televisi TPI (Televisi Pendidikan Indonesia) ketika itu, kemudian terlihat mendekati partai Gerindra, dan mendukung  Prabowo-Hatta dalam Pilpres 2014.

Hanya saja kedekatannya dengan kubu KMP (Koalisi Merah Putih) pun tidak tampak semesra sebelumnya. Setelah pasangan yang didukungnya dikalahkan oleh pasangan capres/cawapres Jokowi-JK, Hary Tanu malah mendirikan partai politik yang selalu digembar-gemborkan lewat semua stasiun televisi miliknya.

Dengan demikian publik semakin yakin. Sikap Hary Tanu yang memojokkan Ahok, karena bisa jadi dia menyimpan dendam terhadap partai Nasdem dan partai Hanura.  Dan secara tidak langsung dia telah menyatakan kalau dirinya masih memiliki kemampuan lebih untuk bersaing dengan kedua parpol yang pernah disinggahinya itu. Dengan menggunakan media yang dimilikinya, tentu saja.

Bagaimanapun Hary Tanu menyadari kalau media menjadi alat ampuh untuk menggiring opini publik demi kepentingan politik. Karena syahwat kekuasaan yang telah memenuhi kepalanya, maka media pun digunakannya untuk memihak pasangan calon yang didukungnya, dan juga dipakai untuk menyudutkan pasangan Ahok-djarot di sisi lainnya.

Itulah. Media, karena pemiliknyatelah merasa menguasainya, maka jadilah berpihak terhadap pihak yang disukai sang pemilik modalnya. Sebaliknya tidak berpihak kepada pihak yang dibencinya.

Fakta lain adalah saat Pilpres 2014 lalu. Dua media televisi swasta, yaitu Metro TV dan TV One, dalam pemberitaannya terkait Pilpres tampak selalu bertolak belakang. Bila Metro TV cenderung mengelu-elukan pasangan Jokowi-JK, sedangkan TV One malah sebaliknya. Stasiun televisi milik keluarga Aburizal Bakrie itu begitu getolnya menyudutkan Jokowi-JK, dan lebih banyak menayangkan segala sisi positif pasangan Prabowo-Hatta.

Ya, publik pun tahu. Metro TV milik Surya Paloh, pengusaha dan politikus pendiri partai Nasdem, yaang notabene pendukung pasangan capres/cawapres nomor urut dua, Jokowi-JK. Sementara keluarga Aburizal Bakrie, tentu saja, karena Sang Bigboss kala itu merupakan ketua umum partai Golkar yang mendukung Prabowo-Hatta.

Maka suka maupun tidak, pers atawa media terbukti telah memihak. Tergantung siapa pemiliknya, dan di parpol mana pemiliknya itu berada.

Namun kalau di antara kita masih mampu berpikir waras, dan memiliki nalar yang cerdas,  dilihat dari kaidah dan kode etik,  sikap media yang dsebut di atas tadi jelas merupakan suatu bentuk keberpihakan yang kebablasan, alias melenceng jauh dari hakikat keberpihakan media yang sesungguhnya.

Terbukti, media televisi milik Hary Tanusudibyo, Surya Paloh, dan Aburizal Bakrie, itu mendapat teguran peringatan dari KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) atas keberpihakannya yang melulu didasari faktor suka dan tidak suka belaka tersebut.

Malahan apabila tetap keukeuh dengan sikapnya itu, maka KPI bisa saja untuk meminta Kementerian Komunikasi dan Informatika untuk mengevaluasi izin penyelenggaraan penyiarannya.

Jadi kalau demikian media tidak boleh berpihak ya?

Sama sekali tidak. Media justru sudah seharusnya memiliki keberpihakan. Tetapi keberpihakannya terhadap kebenaran. Dan kebenaran itu pun bukan menurut individu masing-masing, melainkan kebenaran jurnalistik, atawa jelasnya adalah kebenaran berdasarkan  fakta.***

Sumber ilustrasi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun