“Hai... Anak-anak kemarilah! Jangan jauh-jauh. Dengarkanlah, Gusti akan menyampaikan kabar penting untuk seluruh makhluk di muka bumi ini...”
Gerombolan anak-anak itu berpandangan satu sama lainnya. Tiba-tiba terdengar suara parau dari dalam gubuk yang jaraknya sekitar sepuluh meter dari tempat mereka bersembunyi di balik pepohonan. Bisa jadi merasa heran, penghuni gubuk itu seakan mengetahui kedatangan mereka.
Padahal sejak memasuki jalan setapak itu, mereka berjalan dengan mengendap-endap. Seperti sepasukan tentara yang sedang mengintai musuh saja layaknya. Bahkan ketika jarak anak-anak itu hampir mendekati gubuk, selain berusaha melangkahkan kakinya masing-masing dengan sangat hati-hati, mereka pun tidak berada di jalan setapak lagi, tetapi berpencar di balik pepohonan.
Salah seorang anak berbisik di dekat telinga temannya, “Benar ‘kan, meskipun dipasung, Gusti tahu kedatangan kita.” Anak yang dibisikinya mengangguk dengan tatapan heran. “Itu tandanya memang Gusti itu berilmu tinggi. Tiada tanding di kampung kita ini. Malahan pastinya di seantero dunia juga tak akan ada yang bisa mengalahkan kedigjayaannya.”
“Gusti tahu kalian tidak mau mendekat, karena kalian takut kena azab dari Gusti... Hahaha...” Dari dalam gubuk kembali terdengar suara parau yang dibarengi tawa panjang. Dan tawa itu mengingatkan anak-anak pada sebuah pertunjukan sandiwara di lapangan bola beberapa bulan lalu, tawa genderuwo yang membuat bulu kuduk mereka bergidik.
“Tapi baiklah, Gusti akan menyampaikan kabar yang harus kalian sampaikan pada Abah (Ayah) dan Emak (Ibu), juga pada seluruh penghuni kampung.. Tidak lama lagi hari kiamat akan tiba. Segeralah kalian bertobat. Jangan lagi melakukan perbuatan dosa...”
Mengingat kejadian yang selalu berulang saat mengintip gubuk di tengah kebun, yang persis terletak tidak jauh dari kampung kami itu, saat saya berusia enam tahun, saat itu, mengingatkan kembali saya dengan beredarnya kabar dewasa ini tentang orang yang mengaku Tuhan, atawa mengaku sebagai Nabi.
Hanya saja, kalau dibandingkan antara Gusti yang saya temui di masa lalu dengan yang muncul belakangan ini, akan berbeda jauh sekali.
Meskipun saat itu di antara anak-anak teman saya ada yang percaya akan kesaktian Gusti, tapi ada juga yang tidak. Termasuk saya, karena orang tua saya sering memberitahu, siapa Gusti itu. Jangankan memercayainya, mendekatpun tak ada yang berani. Di dalam bahasa Sunda, Gusti artinya Tuhan. Sementara jaman kiwari, baik kepada yang mengaku Tuhan, maupun mengaku sebagai nabi, tokoh banyak juga yang mengimaninya.
Akan tetapi kalau mengingat kembali kepada Gusti yang pernah ada di kampung kami, saya suka beranda-andai sendiri. Andaikan saat itu saya sudah dewasa, dan sudah mengerti apa yang terjadi.
Sungguh. Karena Gusti di kampung kami itu hanyalah seorang yang mengidap penyakit hilang ingatan belaka. Alias gila. Dan bila sedang kumat, Gusti, yang nama sebenarnya adalah Abah Karna, suka mengamuk dengan membabi-buta. Sehingga akhirnya orang satu kampung sepakat untuk memasungnya, dan ditempatkan di gubuk yang ada di kebun.
Tahun 1966, keadaan masyarakat di kampung kami bisa jadi masih terbelakang memang. Gusti hanya diobati oleh beberapa dukun. Hasilnya terbukti penyakit Gusti kian menjadi-jadi. Dan selang setahun kemudian, Gusti ditemukan sudah tak bernyawa lagi.
Ya, andaikan seperti sekarang, mungkin saya akan menyarankan warga kampung, terutama keluarganya untuk membawa Gusti ke RSJ (Rumah Sakit Jiwa). Demikian juga kepada warga kampung akan saya beritahukan kalau memasung itu merupakan suatu pelanggaran hukum. Juga hak asasi manusia, tentu saja.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H