Lima sepeda motor, di antaranya dua jenis bebek, dan selebihnya jenis matik dari berbagai merek, melintas di depan warung kopi langganan kami. Suara knalpotnya lumayan membikin pekak telinga. Kami lihat pengendaranya sepuluh orang anak baru gede dari kampung sebelah. Dan sebagaimana penampilan anak muda jaman kiwari, “Sangat memprihatinkan, sekaligus membuat kita tertawa,” kata Ajengan Sobri, suatu saat, dalam pengajian mingguan di madrasah kampung kami.
Tidak hanya bagi Ajengan Sobri saja kiranya, kami pun yang rerata berusia 40 – 60 tahunan, melihat anak-anak muda itu merasakan hal yang sama. Malahan Kang Aceng yang suka bicara tanpa tedeng aling-aling, alias blak-blakan, mengomentarinya dengan cukup ekstrim, “Jiga jalma gelo bae barudak kiwari mah (Seperti orang gila saja anak-anak jaman sekarang). Dasar!” katanya.
Betapa tidak. Mulai dari rambut kepala yang aslinya berwarna hitam, sudah dicukur acak-acakan yang konon katanya ala mohawk itu, diberi cat, sehingga warnanya pun ada yang menjadi kemerahan, ada yang kehijauan (bisa jadi tergantung selera masing-masing). Lalu telinganya diberi anting-anting. Hanya saja asesori antingnya bukan yang lazim dipakai kaum wanita. Hiasan telinga itu sepertinya sebuah magnet kecil berbentuk bulat di bagian belakangnya, lalu depannya ditempeli bermacam hiasan yang terbuat dari benda yang bisa menempel pada magnet itu, meski terhalang oleh kulit telinganya. Tapi ada juga yang tampak ekstrim.
Hiasan telinganya itu berupa peniti yang ditusukkan pada kulit telinganya. Sementara baju yang mereka kenakan masih terbilang normal, walau rerata T-shirt mereka berwarna-warni yang mencolok, dan penuh dengan tulisan yang terkadang bikin orang ketawa saat membacanya. Hanya saja yang bikin dahi tambah berkerut, saat melihat celana jins yang biasa dipakainya. Sudah begitu ketat, di bagian lutut dan pahanya seperti sengaja disobek, dan dibiarkan terbuka lebar.
“Tetapi soal mode pakaian, khususnya celana saja, tiap generasi memiliki gaya masing-masing. Di tahun 70-an, mode celana setelah mode cut-bray yang mula-mula dikenal dengan sebutan ala manila itu, kemudian berubah menjadi mode bray-bray, atawa kombor, yang dari pangkal paha hingga bawah lumayan lebar. Setelah itu berubah lagi. Kali ini bentuknya dari pangkal seperti kedodoran, dan diberi beberapa lipatan,lalu ke bawahnya mengerucut kecil. Selanjutnya kembali ke model standar. Dan anak jaman sekarang ini punya gaya seperti itu,” kata Kang Jamal, yang berprofesi sebagai penjahit di kampung kami.
“Betul. Masalah mode pakaian mungkin tidak perlu begitu jadi persoalan. Karena bisa jadi suatu saat akan berganti lagi. Tergantung bagaimana para perancang mode menciptakan karyanya, atau tergantung bagaimana tokoh idola mereka tampil,” timpal Pak Guru Elon.
“Ah, Pak Guru, kalau bagi saya masalah penampilan pun tetap saja berpengaruh terhadap perilaku, atawa juga sebaliknya,” bantah Mang Emid.
“Maksudnya?”
“Penampilan yang urakan seperti anak-anak muda jaman sekarang, tampaknya tidak berbeda dengan perilakunya. Coba saja perhatikan rombongan anak-anak muda tadi. Dengan cara berpakaian yang aneh seperti itu, tidak punya sopan-santun lagi. Sewaktu mereka masuk ke warung, dan melewati kita yang sedang duduk, apa ada di antara mereka yang bersikap sopan, misalnya bilang ‘permisi’ kepada kita – orang yang usianya sudah tua begini? Lalu apa yang mereka beli dari warung ini? Selain rokok, mereka pun memborong beberapa pak obat batuk. Padahal di antara mereka tidak kelihatan seorangpun yang sedang menderita sakit. Coba, untuk apa obat batuk itu? Kita semua sudah tahu, kalau obat batuk itu mereka campur dengan minuman jenis lainnya untuk digunakan sebagai bermabuk-mabukan.
Saya sering melihat mereka, dengan sembunyi-sembunyi di dekat pemakaman umum, anak-anak muda itu meminum oplosan obat batuk itu beramai-ramai. Kemudian mereka berjalan sempoyongan menuju jalan besar. Lalu apa yang terjadi, mereka seringkali mengganggu orang-orang yang lewat. Kalau kebetulan yang lewat itu seorang gadis, mereka beramairamai menggodanya. Malahan tak jarang sampai kelewatan, seperti mencolek-coleknya, atawa memeluknya. Sedangkan kalau anak-anak kecil yang lewat, selain mengganggunya, mereka pun acapkali merebut uang jajan anak itu. Apa di jaman kita masih muda dulu pernah terjadi hal seperti itu di kampung ini? ”
“Hal seperti itu juga bisa jadi, Mang, karena memang jamannya sudah begini, seperti ini. Mau apa lagi?” sahut Jang Hasan seperti pasrah.
“Hadeuh, baru saja umur 40-an Ujang mah koq apatis begitu. Coba mikir, cari solusi. Masak lulusan perguruan tinggi seperti itu?”
“Jangan-jangan semua ini gara-gara Jokowi lagi...” celetuk Kang Udin yang sejak tadi mendengarkan.
“Nah, ini lagi. Mengapa dikaitkan dengan Presiden?” tanya Mang Emid sedikit sewot.
“Lha, itu orang-orang ngomong begitu. Harga cabe, BBM, dan gas naik, gara-gara Jokowi. Banyak terjadi bencana banjir, dan longsor juga gara-gara Jokowi... Justru saya sendiri heran, Presiden koq sering dijadikan kambing hitam. Dengan cara-cara berlebihan lagi, tanpa etika dan sopan-santun. Padahal katanya, Presiden itu simbol negara, dan harus dihormati. Sedangkan yang suka menyalahkan Presiden itu juga katanya adalah orang yang berpendidikan tinggi, punya kedudukan terhormat lagi. Makanya anak-anak jaman sekarang perilakunya urakan seperti itu, jangan-jangan karena mereka meniru sikap orang yang suka menghina Presiden itu...”***
Serial Obrolan di Warung Kopi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H