Mohon tunggu...
Adjat R. Sudradjat
Adjat R. Sudradjat Mohon Tunggu... Penulis - Panggil saya Kang Adjat saja

Meskipun sudah tidak muda, tapi semangat untuk terus berkarya dan memberi manfaat masih menyala dalam diri seorang tua

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Gerhana

2 Maret 2016   15:47 Diperbarui: 2 Maret 2016   22:06 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Ilustrasi"][/caption]“Tidak semudah itu kamu memutuskan hubungan kita ini.” Begitu bunyi SMS yang baru tiba di ponselnya. Usai membacanya, Ningsih hanya menggelengkan kepalanya sembari menyimpan kembali ponselnya ke dalam kantong celananya.

Apa sulitnya memutuskan hubungan rumit seperti ini, batinnya, hanya menambah persoalan yang tak ada faedahnya sama sekali. Malahan yang jelas, saban hari cuma makan hati.

Ningsih sadar. Menjalin hubungan dengan seorang lelaki yang sudah beristri, adalah suatu masalah besar, dan sulit untuk dimaapkan. Bagaimanapun dirinya adalah perempuan yang memiliki perasaan yang sama dengan istri lelaki itu. Ningsih membayangkan betapa sakitnya kalau dirinya pun bila suatu ketika  nanti sudah menikah,  suaminya berselingkuh dengan perempuan lain.

Sesaat Ningsih memejamkan matanya. Untunglah pada minggu lalu dirinya mengetahui kalau lelaki yang baru saja akan dicintainya itu ternyata sudah punya keluarga.

Ketika itu hari Minggu. Ningsih sedang berbelanja kebutuhan bulanan di sebuah mall bersama seorang temannya. Tanpa disengaja, ekor mata Ningsih menangkap sosok yang dikenalnya di kejauhan. Kemudian diapun menjadi penasaran. Matanya  sesaat mengarah pada sosok yang menyita perhatiannya itu.

Tidak syak lagi. Sosok itu memang benar lelaki yang selama ini seringkali mengirim SMS mesra, dan selalu menelponnya penuh gairah cinta. Hanya saja siapa bocah yang ada dalam pelukannya, dan siapa perempuan yang menggelendot mesra di sampingnya itu ?

Tetapi melihat sikap lelaki dengan perempuan itu tampaknya merupakan sepasang suami-istri. Apalagi bila ditambah dengan seorang bocah mungil dalam pelukan lelaki itu, semakin memperjelas dugaan Ningsih, lelaki itu telah berkeluarga, dan sedang mencoba untuk bermain hati dengan dirinya. Ah.

Tanpa sepengetahuan temannya, Ningsih masih sempat juga mengambil foto pasangan yang dilihatnya itu. dan seperti tanpa ada kejadian luar biasa yang baru dialaminya, ningsih buru-buru menggamit temannya untuk segera beranjak dari tempatnya.

Dua hari kemudian lelaki itu muncul di kost-an Ningsih. Ningsih masih menyambutnya dengan ramah seperti biasa. Hanya saja saat keduanya sudah duduk di ruang tamu, dan sudah sedikit berbasa-basi, Ningsih memperlihatkan foto yang diambilnya di mall itu dari ponselnya.

“Mas, kenal nggak dengan foto ini ?” tanya Ningsih dengan nada datar. Lelaki di sampingnya itu tampak tergeragap.

“Pasangan yang bahagia... Kenapa sekarang mereka ditinggalkan, mengapa tidak diajak serta mereka ke sini ?”

Lelaki di sampingnya mati kutu untuk sesaat. Akan tetapi tampaknya lelaki itu pun sedang memutar otak, karena tak lama kemudian, “Kuakui, aku memang sudah berkeluarga. Tapi salahkah kalau aku mencintaimu, menyayangimu ?” katanya dengan sorot mata yang tajam ke mata Ningsih.

“Jelas salah, Mas. Karena itu artinya kamu sudah menduakan hati. Lagi pula aku sendiri tak sudi dijadikan pihak ketiga yang akan dianggap sebagai perusak kebahagiaan keluargamu.”

“Tapi sungguh, aku sudah lama tidak merasa bahagia....”

“Jangan lebay, Mas. Foto ini tidak mengatakan begitu. Justru sebaliknya, kamu tampak begitu bahagia bersama keluargamu.”

“Kamu keliru. Semua itu semu belaka.” Lelaki di samping Ningsih menghela napas panjang, “Aku sesungguhnya sudah lama hidup dalam neraka sebuah ikatan pernikahan. Sebenarnya aku telah terjebak dalam pusaran kisah Siti Nurbaya. Kami dijodohkan oleh orangtua yang masih berpegang pada pemikiran lama, tanpa mengindahkan hak dan kebebasan hidup anaknya sama sekali,” lanjutnya dengan suara tanpa tenaga lagi.

“Bohong. Itu cuma alasan yang dicari-cari saja. Aku tidak percaya sama sekali dengan penjelasanmu itu. semua lelaki memang sama, kalau sudah terbuka kedoknya selalu mencari dalih ini dan itu,” sambil berkata-kata tampak bibir Ningsih menggeletar, dan wajahnya menyemburat merah padam.

“Sungguh. Aku tidak seperti yang kamu katakan. Semua itu adalah kenyataan yang selama ini aku alami dan aku rasakan...”

“Sudahlah. Aku tak mau mendengar omonganmu lagi. Lebih baik sekarang kamu kembali kepada anak dan istrimu !” kata Ningsih sambil berdiri, lalu beranjak menuju kamar tidurnya. Brak! Daun pintu kamar dibantingnya. Lalu terdengar dikunci dari dalam. Meskipun berulangkali lelaki itu memangil namanya, tetapi Ningsih tetap tak menghiraukannya. Bahkan sampai lelaki itu minta diri, Ningsih tetap tak peduli.

Betapa merasa hinanya, betapa merasa sakitnya. Selama ini dirinya ternyata hanyalah dijadikan pelarian belaka. Padahal sebelumnya Ningsih demikian tulus mencintai lelaki yang seringkali ditemuinya saban pagi  dalam perjalanan menuju ke tempat kerjanya.

Bagaimanapun ketulusan cinta Ningsih pada lelaki itu tidak sebatas perasaan dan sikap belaka, melainkan seluruh jiwa raganya pun terlanjur diserahkannya juga...***

 

Sumber ilustrasi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun