[caption caption="Ilustrasi"][/caption]
“Para Ibu, Para Bapa, dan seluruh jamaah majelis taklim rahimakumullah, saya kembali teringat dengan guru ngaji saya, sewaktu mondok di sebuah pondok pesantren di Jawa Timur. Dalam setiap kesempatan, Al Mukaram guru ngaji saya seringkali mengutip amanat salah seorang Wali Sanga... Tentu seluruh jamaah tahu siapa Wali Sanga itu. Ya, mereka adalah sembilan orang Wali yang menyebarkan agama Islam di pulau Jawa khususnya, beberapa abad lalu. Salah satu dari mereka, yaitu Sunan Ampel, ketika itu pernah diminta oleh Raja Majapahit untuk memperbaiki moral masyarakat Majapahit yg telah rusak, akibat dari maraknya perjudian, mabuk-mabukan dengan minum arak, pergaulan bebas antara perempuan dengan lelaki tanpa ada ikatan pernikahan, alias perzinahan, mabuk karena mengisap candu madat, dan untuk melakukan itu mereka butuh biaya. Lalu apalagi yang mereka lakukan untuk mendapatkannya kalau bukan dengan cara mencuri.
Nah, tentu jamaah Majlis Taklim masih ingat dengan slogan Presiden SBY yang beberapa tahun lalu sering ditayangkan di televisi, yaitu Katakan tidak pada Korupsi. Demikian juga yang disampaikan Sunan Ampel di dalam dakwahnya selalu mengatakan tidak pada perbuatan-perbuatan yang merusak moral itu. Karena kerajaan Majapahit terletak di Jawa Timur, maka Sunan Ampel pun dalam dakwahnya sudah tentu menggunakan bahasa Jawa. Sehingga kata ‘tidak’-nya itu dikatakan Moh.
Moh madon, yaitu tidak main perempuan secara sembarangan, atawa sekarang lebih dikenal dengan pergaulan bebas tanpa ikatan.
Moh maling, atawa tidak melakukan pencurian, karena itu merugikan orang lain, dan dilarang oleh agama maupun negara.
Moh madat, tidak mengisap candu dan madat. Kalau jaman sekarang ini mungkin lebih dikenal dengan sebutan narkoba, seperti jenis narkotika, maupun obat-obatan psikotropika.
Moh mabok, yakni tidak meminum minuman keras sejenis arak, dan jenis lainnya yang sama-sama mengandung alkohol.
Dan yang terahir adalah Moh main, tidak berjudi seperti dengan main kartu, sabung ayam, atawa juga togel.
Semua itu dirangkum dengan istilah yang dikenal dengan kata Mo Limo. Katakan tidak pada lima perkara yang akan merusak iman kita, dan sudah tentu akan merusak juga pada kehidupan kita. Gusti Allah telah menetapkan lima perkara itu sebagai perkara yang tidak boleh dilakukan oleh manusia. Apabila larangan itu dilanggar, apa hukumannya para Ibu dan para Bapak ?
Ya benar. Akan mendapat siksaan kelak di akhirat. Na’udzubillah... ”
Semua jamaah mengikuti kata yang terahir diucapkan ustadz Somad. Tapi ada juga yang mengucap istighfar. Sejenak ustadz Somad mengedarkan tatapannya ke seluruh jamaah yang ada di depannya. Beberapa saat kemudian diapun kembali membuka suara.
“Apalagi sekarang ini yang namanya pergaulan bebas antara kaum lelaki dengan perempuan yang tanpa ikatan, tidak hanya terjadi di kota-kota besar saja. Di kampung kita saja saya banyak mendengar ada beberapa anak perawan yang dinikahkan dalam keadaan sedang berbadan dua. Oleh karena itu saya kembali mengingatkan kepada seluruh jamaah majlis taklim untuk selalu hati-hati dan waspada dalam mendidik anak-anak kita di rumah, jangan sampai mereka terjerumus dalam perbuatan yang dilarang Gusti Allah subhanahu wa ta’ala... Mari kita berdo’a agar senantiasa dihindarkan dari lima perkara itu... Amiiin!”
Semua jamaah menadahkan telapak tangannya. Ustadz Somad membaca do’a penutup dakwahnya. Setelah turun dari mimbar, dia minta diri kepada pengatur acara, juga kepada seluruh jamaah majlis taklim. Katanya dia sudah ditunggu-tunggu untuk mengisi acara pengajian juga pada majlis taklim di kampung sebelah.
Sebelum keluar dari ruangan madrasah, pengatur acara masih sempat menyelipkan amplop ke dalam saku baju koko ustadz itu.
Di samping halaman madrasah, sebelum menghidupkan motor bebeknya, ustadz Somad celingukan ke kiri dan ke kanan. Kemudian dia merogoh amplop dari saku baju kokonya. Amplop bergaris merah-biru itu dibuka. Raut wajah ustadz Somad berubah seketika. Bibirnya mencibir. Lalu amplop itu dimasukkan lagi ke dalam kantong baju kokonya. sepeda motor bebeknya dihidupkan, dan sebelum berangkat gas sepeda motornya ditarik begitu kencang, sampai-sampai suara sepeda motornya itu menengahi pengatur acara yang sedang bicara melalui pengeras suara.
Keluar dari halaman madrasah sepeda motor bebek ustadz Somad tidak membelok ke arah kiri, arah jalan yang menuju kampung sebelah, melainkan ke arah sebaliknya. Dan meskipun kondisi aspal jalan di tengah kampung itu sudah begitu parah, tapi ustadz Somad mengendarai sepeda motor bebeknya itu bak orang sedang dikejar setan.Untung suasana di jalan sedang sepi. Karena orang-orang di kampung itu kalau tidak pergi ke pengajian, mereka jam seperti sekarang sedang berada di sawah, atawa di kebun. Sementara anak-anak kebanyakan masih sedang di sekolah.
Ketika sudah dekat ke perempatan jalan, ustadz Somad menurunkan tarikan gas sepeda motor bebeknya. Lalu setibanya di perempatan jalan, sepeda motor bebeknya dibelokkan ke arah jalan yang menuju kota kecamatan. Tepat beberapa meter dari perempatan itu, sambil celingukan sepeda motor bebek ustadz Somad membelok lagi ke arah sebuah warung. Lalu berhenti di samping warung kopi yang tampak sepi itu. setelah memarkir sepeda motor bebeknya, dengan tergesa ustadz Somad masuk ke dalam warung. Seorang perempuan muda dengan dandanan seronok, dan riasan wajah yang lumayan tebal menyambut kedatangan ustadz Somad.
“Kemana saja, Kang ? Sudah lama ya tidak singgah ke sini ?”
“Biasa. Sibuk memberi dakwah di majlis taklim. Barusan pun baru selesai dari majlis taklim kampung kita.”
“Selesai memberi dakwah, lalu ke sini. Sudah kangen ya sama Nyai, apa tidak puas dengan pelayanan istrinya di rumah ?” kata perempuan penjaga warung itu sambil menggelendot mesra.
“Namanya juga lelaki normal. Masa saban hari harus melulu makan ikan asin saja. Sekali-kali boleh ‘kan makan daging di luar...” kata ustadz Somad sambil merangkul perempuan itu.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H